Santapan Rohani Hari Ini: Lihatlah Jumbai-Jumbai Itu

Posted On // Leave a Comment

Santapan Rohani Hari Ini: Lihatlah Jumbai-Jumbai Itu


Lihatlah Jumbai-Jumbai Itu

Posted: 18 Jun 2015 10:00 AM PDT

Jumat, 19 Juni 2015

Lihatlah Jumbai-Jumbai Itu

Baca: Bilangan 15:37-41

15:37 TUHAN berfirman kepada Musa:

15:38 “Berbicaralah kepada orang Israel dan katakanlah kepada mereka, bahwa mereka harus membuat jumbai-jumbai pada punca baju mereka, turun-temurun, dan dalam jumbai-jumbai punca itu haruslah dibubuh benang ungu kebiru-biruan.

15:39 Maka jumbai itu akan mengingatkan kamu, apabila kamu melihatnya, kepada segala perintah TUHAN, sehingga kamu melakukannya dan tidak lagi menuruti hatimu atau matamu sendiri, seperti biasa kamu perbuat dalam ketidaksetiaanmu terhadap TUHAN.

15:40 Maksudnya supaya kamu mengingat dan melakukan segala perintah-Ku dan menjadi kudus bagi Allahmu.

15:41 Akulah TUHAN, Allahmu, yang telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir, supaya Aku menjadi Allah bagimu; Akulah TUHAN, Allahmu.”

Jumbai itu akan mengingatkan kamu, apabila kamu melihatnya, kepada segala perintah TUHAN, sehingga kamu melakukannya. —Bilangan 15:39

Lihatlah Jumbai-Jumbai Itu

Chaim Potok, seorang penulis ternama, memulai novelnya yang berjudul The Chosen (Yang Terpilih) dengan menggambarkan sebuah pertandingan bisbol antara dua tim berlatar belakang Yahudi di kota New York. Reuven Malter, tokoh utama dalam novel itu, memperhatikan bahwa pada seragam yang dikenakan para pemain lawan terdapat sebuah aksesori unik, yakni empat utas jumbai-jumbai panjang yang terjulur dari bawah kaos setiap pemain tim itu. Reuven mengenali jumbai-jumbai itu sebagai sebuah tanda ketaatan yang ketat pada hukum Allah di Perjanjian Lama.

Sejarah dari jumbai atau rumbai itu—disebut sebagai tzitzit—dimulai dengan sebuah pesan dari Allah. Melalui Musa, Allah memerintahkan umat-Nya untuk membuat jumbai-jumbai yang terdiri dari sejumlah benang biru pada keempat ujung pakaian mereka (Bil. 15:38). Allah berfirman, “Maka jumbai itu akan mengingatkan kamu, apabila kamu melihatnya, kepada segala perintah TUHAN, sehingga kamu melakukannya” (ay.39).

Sarana pengingat Allah bagi bangsa Israel kuno itu mirip dengan apa yang kita miliki sekarang. Kita bisa memandang Kristus yang dengan tekun menaati seluruh hukum bagi kita dan selalu menaati Bapa-Nya (Yoh. 8:29). Setelah menerima karya yang dilakukan-Nya bagi kita, sekarang kita mengenakan “Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan [tidak] merawat tubuh [kita] untuk memuaskan keinginannya” (Rm. 13:14). Memusatkan perhatian kepada Anak Allah akan menolong kita untuk menghormati Bapa kita di surga. —Jennifer Benson Schuldt

Tuhan Yesus, terima kasih telah menjadi teladan rohaniku. Tolonglah aku agar mengikuti jalan-Mu sehingga aku bisa menghormati dan menaati Allah dengan pertolongan Roh Kudus.

Apabila Kristus menjadi pusat hidupmu, kamu akan selalu memusatkan perhatian kepada-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Nehemia 12–13; Kisah Para Rasul 4:23-37

Yesus dan Para Pengungsi Rohingya

Posted: 18 Jun 2015 04:00 AM PDT

Oleh: Wendy W
(Artikel asli dalam bahasa Inggris: Jesus and The Rohingya Refugees)

Jesus-and-the-Rohingya-Refugees

Bayangkan terkatung-katung di lautan lepas selama lebih dari tiga puluh hari tanpa makanan dan air. Tinggal berdesakan di atas kapal bersama ratusan orang lainnya, bertahan hidup dengan minum air seni sendiri. Yang meninggal dilempar keluar kapal. Itulah yang dialami oleh ribuan pengungsi di Teluk Bengal belakangan ini.

Para pengungsi itu adalah orang-orang Rohingya dari Myanmar dan Bangladesh, sebuah suku yang digambarkan oleh PBB sebagai para manusia yang di "ping-pong".

Pemerintah dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara awalnya telah menolak menerima para imigran ini, mendesak orang-orang Rohingya keluar dari wilayah perairan mereka. Namun, pada bulan Mei kemarin, pemerintah Indonesia dan Malaysia menyatakan siap menyediakan tempat penampungan bagi sekitar 7000-8000 pengungsi, dengan catatan mereka akan dipindahkan atau dipulangkan ke negara asal dalam jangka waktu setahun.

Para pengungsi ini terkatung-katung di laut karena pemerintah di negara-negara Asia Tenggara belum memutuskan negara mana yang harus mengambil tanggung jawab atas suku Rohingya. Pada tanggal 29 Mei 2015, telah diadakan pertemuan di Thailand untuk membahas akar masalah dari krisis kaum imigran ini.

Apa yang dapat kita lakukan?
Untuk menyelesaikan krisis para pengungsi tersebut, setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan: menyediakan bantuan darurat untuk mereka yang masih terkatung-katung di lautan, dan membereskan akar masalah mereka sekaligus memutuskan jaringan kejahatan yang mengambil keuntungan dari situasi mereka.

Sebagai orang-orang Kristen, kita dapat berdoa bagi para pemimpin di Asia Tenggara, agar koordinasi yang baik dapat dilakukan, dan mereka dapat menemukan jalan keluar untuk mengatasi masalah ini. Mari kita doakan juga agar dalam anugerah Tuhan, suku ini mendapatkan pertolongan dan akomodasi yang dibutuhkan. Doakan para pengungsi yang masih berada di laut, agar dapat segera diselamatkan oleh tim SAR, dapat menemukan tempat tinggal yang aman, dan suatu hari kelak dapat menemukan keselamatan bagi jiwa mereka di dalam Tuhan Yesus Kristus.

Yesus tahu persis apa yang sedang mereka alami.

Yesus, Sang Pengungsi
Yesus juga pernah menjadi seorang pengungsi pada zaman-Nya, bahkan terus-menerus menghadapi penganiayaan selama hidup di dunia. Sebagai seorang anak kecil, Dia harus ikut orangtua-Nya mengungsi ke Mesir ketika Raja Herodes memerintahkan pembunuhan anak-anak di bawah dua tahun di Betlehem, tempat keluarga-Nya tinggal. Dia juga pernah diludahi, dicambuk, dan disalibkan. Dia pernah dihina, dicela, dan akhirnya dibunuh.

Yesus mengerti bagaimana rasanya menghadapi penindasan, menjadi orang yang tidak diinginkan dan ditolak di mana-mana, serta tidak memiliki "tempat untuk meletakkan kepala-Nya" (Lukas 9:58). Orang-orang Rohingya dapat datang kepada Sang Juruselamat yang dapat merasakan apa yang mereka rasakan, dan yang sanggup menyelamatkan mereka, tubuh mereka dan jiwa mereka.

Sebab itu, mari kita terus mengingat mereka dalam doa, dan menyerahkan mereka kepada Tuhan dan Juruselamat kita.

Berseru-serulah mereka kepada TUHAN
dalam kesesakan mereka,
dan dikeluarkan-Nya mereka dari kecemasan mereka,
dibuat-Nyalah badai itu diam,
sehingga gelombang-gelombangnya tenang.
Mereka bersukacita, sebab semuanya reda,
dan dituntun-Nya mereka ke pelabuhan kesukaan mereka.

Mazmur 107:28-30

 
Siapakah Orang-Orang Rohingya?

Kelompok etnis di Myanmar ini diduga adalah keturunan para pedagang Muslim yang tinggal di Myanmar lebih dari seribu tahun lalu. Banyak di antara mereka terdesak keluar dari tempat tinggalnya karena berbagai ketegangan etnis, sosio-ekonomi, dan politik yang terjadi di negara mereka.

Menurut PBB, lebih dari dari 120.000 orang Rohingya telah meninggalkan negara mereka dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Situasi mereka yang serba sulit membuat mereka rentan menjadi objek perdagangan manusia, oleh oknum-oknum yang mendapat keuntungan dengan menyelundupkan mereka melalui laut ke Thailand, kemudian ke Malaysia.

Pada bulan Mei, ditemukan bekas kamp-kamp pengungsi berikut sekitar seratus jenazah yang terkubur di sepanjang perbatasan antara Thailand dan Malaysia. Aparat meyakini bahwa para pengungsi itu telah ditahan di kamp-kamp tengah hutan oleh sindikat perdagangan manusia untuk diperjualbelikan atau mendapatkan uang tebusan. Beberapa orang Rohingya juga disiksa di dalam sangkar kayu yang dikelilingi kawat berduri. Setelah penemuan yang mengerikan ini, Thailand mulai mengambil sikap yang lebih tegas untuk memutus rute perdagangan manusia yang melewati negaranya. Para pedagang manusia pun meninggalkan perahu-perahu para pengungsi di lautan, membiarkan ribuan pria, wanita, dan anak-anak, terkatung-katung tanpa bantuan atau harapan.

Photo credit: Steve Gumaer / Foter / CC BY-NC

Doa Mengubah Segalanya

Posted: 18 Jun 2015 02:00 AM PDT

Oleh: Yuvita Apolonia Ginting

Doa Mengubah Segalanya

Sebagai seorang Kristen, aku tahu bahwa doa itu penting. Allah mengundang kita untuk berdoa (Yeremia 29:12), dan Yesus sendiri selalu mengutamakan doa (Markus 1:35). Namun, aku selalu saja punya alasan untuk tidak berdoa.

Saat aku mulai kuliah di tempat yang jauh dari orangtua, aku tak hanya malas berdoa, aku bahkan mulai malas ke gereja. Beradaptasi sebagai seorang perantau di Jakarta bukanlah hal yang mudah bagiku sebagai seorang anak perempuan yang jauh dari keluarga. Ada saja alasan untuk mengabaikan hubunganku dengan Tuhan: banyak tugas dari kampus, keasyikan main game, mau mengurusi toko online yang kurintis sejak SMA, tidak punya kendaraan untuk ke gereja, dan sebagainya. Aku merasa sudah cukup aku ikut persekutuan mahasiswa di kampus setiap hari Jumat.

Makin lama aku hidup jauh dari Tuhan, makin kurasakan hidupku tidak terarah, tanpa tujuan yang jelas. Aku merasa kelelahan melakukan banyak hal, namun tidak melihat hasil apa pun. Pada satu titik, aku akhirnya memutuskan untuk datang kembali ke gereja.

Selama ibadah aku berusaha keras agar dapat berkonsentrasi. Bergadang main game membuatku sangat mengantuk. Namun, hari itu, Tuhan menyentakku dengan menjawab doa seorang pria di sebelahku. Matanya yang rabun berangsur menjadi bisa melihat 50% pada saat itu juga. Jika Tuhan dapat menolongnya, bukankah Dia juga dapat menolongku? Keringat dingin membasahi tubuhku, dan aku mulai menangis. Aku memohon Tuhan menjamah dan melepaskan aku dari kebiasaan-kebiasaan yang membelengguku. Tidak hanya aku, tetapi juga keluargaku. Aku diingatkan akan anggota keluarga ayahku yang masih menyembah setan. Oh Tuhan, tolong lepaskan kami … bawa kami kembali memiliki hubungan yang benar dengan-Mu

Hari itu aku dan keluargaku juga didoakan secara khusus oleh para pelayan di gereja. Aku merasa Tuhan sungguh menjamah hati dan tubuhku. Masalahku tidak serta merta lenyap, namun damai yang luar biasa kini melingkupi hatiku.

Malam harinya aku tidak bisa tidur, entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang belum aku lakukan. Ada dorongan yang kuat di dalam hatiku untuk berdoa. Dengan gemetar aku menumpahkan segala kekalutan yang menguasai pikiranku kepada Tuhan, termasuk usaha toko online yang sangat kuharapkan dapat meringankan biaya kuliahku.

Begitu selesai berdoa, aku tersentak, karena ada bunyi pesan masuk di hp-ku. Ada orang yang baru saja berbelanja di toko onlineku. Kebetulan? Kupikir tidak. Tuhan sedang mengajarku untuk bergantung kepada-Nya, menyerahkan segala kebutuhanku kepada-Nya.

Sejak hari itu, hidupku tidak pernah sama lagi. Doa mengubah segalanya. Hubungan pribadiku dengan Tuhan diperbaharui. Bila sebelumnya aku selalu punya alasan untuk tidak berdoa, kini aku selalu menemukan alasan untuk berdoa. Doa menjadi pengalaman memercayakan diri ke dalam tangan Tuhan yang memegang kendali atas segala sesuatu, menjadi ungkapan hati seorang anak kepada Bapa yang mengasihinya. Kini aku menjadi lebih sabar dan tenang menghadapi masalah, karena aku tahu aku tidak menghadapinya sendirian. Meski penghasilanku tak seberapa, aku bisa memberi perpuluhan dengan sukacita, karena aku tahu Tuhan memperhatikan dan memeliharaku selalu.

Bagaimana doa membuat perbedaan dalam hidupmu?

0 komentar:

Posting Komentar