Santapan Rohani Hari Ini: Pahlawan yang Mengecewakan

Posted On // Leave a Comment

Santapan Rohani Hari Ini: Pahlawan yang Mengecewakan


Pahlawan yang Mengecewakan

Posted: 27 Aug 2015 10:00 AM PDT

Jumat, 28 Agustus 2015

Pahlawan yang Mengecewakan

Baca: Ibrani 3:1-6

3:1 Sebab itu, hai saudara-saudara yang kudus, yang mendapat bagian dalam panggilan sorgawi, pandanglah kepada Rasul dan Imam Besar yang kita akui, yaitu Yesus,

3:2 yang setia kepada Dia yang telah menetapkan-Nya, sebagaimana Musapun setia dalam segenap rumah-Nya.

3:3 Sebab Ia dipandang layak mendapat kemuliaan lebih besar dari pada Musa, sama seperti ahli bangunan lebih dihormati dari pada rumah yang dibangunnya.

3:4 Sebab setiap rumah dibangun oleh seorang ahli bangunan, tetapi ahli bangunan segala sesuatu ialah Allah.

3:5 Dan Musa memang setia dalam segenap rumah Allah sebagai pelayan untuk memberi kesaksian tentang apa yang akan diberitakan kemudian,

3:6 tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhirnya teguh berpegang pada kepercayaan dan pengharapan yang kita megahkan.

Coba pikirkan dalam-dalam mengenai Yesus ini! Allah mengutus Dia khusus untuk menjadi Imam Agung. —Ibrani 3:1 BIS

Pahlawan yang Mengecewakan

Sebuah buku baru-baru ini menggambarkan dua jagoan penembak jitu di masa lalu, Wyatt Earp dan Doc Holliday, sebagai pemalas yang tidak ada apa-apanya. Dalam sebuah wawancara dengan sebuah radio, penulis buku itu bercerita tentang pribadi Earp yang sesungguhnya, “Ia sama sekali tak pernah melakukan sesuatu yang luar biasa di sepanjang hidupnya.” Selama bertahun-tahun, dalam berbagai buku dan film Hollywood, mereka dicitrakan sebagai pahlawan. Namun, catatan sejarah yang tepercaya menunjukkan bahwa mereka tidak seperti penggambaran itu.

Sebaliknya, Alkitab penuh dengan manusia tidak sempurna yang menjadi pahlawan sejati. Namun jangan salah menilai sumber utama dari tindakan mereka yang gagah berani. Objek iman mereka adalah Allah, yang memilih manusia biasa demi menggenapi maksud-Nya yang luar biasa.

Salah satu pahlawan iman yang menonjol adalah Musa. Kita sering lupa bahwa ia pernah membunuh dan enggan memimpin, bahkan pernah berseru kepada Allah: “Mengapa Kauperlakukan hamba-Mu ini dengan buruk . . . sehingga Engkau membebankan kepadaku tanggung jawab atas seluruh bangsa ini? Akukah yang mengandung seluruh bangsa ini?” (Bil. 11:11-12).

Betapa manusiawinya Musa! Namun kitab Ibrani mengingatkan: “Musa memang setia dalam segenap rumah Allah sebagai pelayan untuk memberi kesaksian tentang apa yang akan diberitakan kemudian” (Ibr. 3:5).

Pahlawan iman yang sejati merujuk pada satu Pahlawan yang tidak pernah mengecewakan kita. “[Yesus] layak mendapat kemuliaan lebih besar dari pada Musa” (ay.3). —Tim Gustafson

Tuhan, terima kasih telah menjadi satu-satunya Pahlawan yang selalu dapat kami andalkan. Tolong kami untuk tidak menutupi kekurangan dan kesalahan kami, tetapi menyerahkannya kepada-Mu. Kami percaya Engkau memakai kami untuk maksud-Mu yang baik.

Sedang mencari seseorang yang tidak akan pernah mengecewakanmu? Pandanglah Yesus.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 123–125; 1 Korintus 10:1-18

Saat Sahabat Tidak Sependapat

Posted: 27 Aug 2015 02:00 AM PDT

Penulis: Olivia Ow
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: When Friends Disagree

When-Friends-Disagree

"Maaf, tetapi aku tidak sependapat denganmu…."

Biasanya setelah kalimat itu terucap, suasana menjadi kaku dan mataku mulai berair karena marah.

Aku selalu merasa sangat sulit untuk menyatakan pendapat yang berbeda, karena aku tidak ingin kehilangan sahabat. Lebih sulit lagi bagiku untuk menerima bahwa orang lain ternyata tidak sependapat denganku, karena harga diriku terluka. Ketika seseorang memiliki pandangan yang berbeda, aku menganggap orang itu sedang menyalahkan, menolak, atau menghakimi aku, terlepas dari cara orang itu menyampaikan pendapatnya. Aku merasa seolah-olah orang itu tidak menghargaiku sebagai seorang pribadi, juga tidak menghargai semua jerih lelah dan pemikiran di balik apa yang kusampaikan atau yang kulakukan. Ini membuatku merasa disakiti, disalahpahami, dan direndahkan. Jadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang itu untuk menjelaskan mengapa ia tidak sependapat, biasanya aku akan segera berkata, "Kalau kamu tidak bisa memahami cara pandangku atau tidak bisa menerima caraku, aku juga tidak merasa perlu memahami dan menerima pemikiranmu."

Akan tetapi, aku kemudian menyadari bahwa ketika seorang sahabat tidak sependapat denganku, adakalanya yang ia maksudkan hanyalah, "Aku kurang setuju dengan metode atau cara yang kamu pakai." Ia tetap menghargaiku sebagai seorang pribadi. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa ada cara lain yang dapat dipakai untuk menangani sesuatu, dan minta aku untuk mempertimbangkannya. Ia hanya mengomentari pendapatku, rencanaku, atau tindakanku, dan tidak sedang menyerang pribadiku.

Meski begitu, adakalanya juga sahabatku tidak sependapat denganku, karena apa yang aku lakukan itu berdosa, melawan Tuhan. Pada saat itu, aku harus mendengarkan pendapatnya dan bersedia untuk berubah.

Ini tidak mudah. Bagaimana aku bisa tahu sahabatku berbeda pendapat hanya karena ia ingin aku mempertimbangkan sesuatu yang lebih baik, atau karena ia sedang berusaha menyadarkan aku akan tindakanku yang berdosa? Aku belajar bahwa salah satu cara yang dapat menolong kami adalah dengan selalu menjaga sikap yang jujur dan terbuka terhadap satu sama lain. Kami harus berani menyuarakan pemikiran kami, dan bersedia untuk saling mendengarkan. Adakalanya, kami harus sepakat untuk tidak sepakat.

Meskipun kita tidak bisa mengontrol bagaimana orang akan menanggapi pandangan kita, namun kita dapat belajar mengungkapkan pendapat yang berbeda kepada sahabat kita dalam kasih. Ketika motivasi kita adalah kasih, kita tidak akan bersikap sebagai orang yang paling benar dan merasa lebih baik daripada orang lain. Kita akan menjadi lebih peka, bisa mengendalikan emosi, dan lebih objektif dalam menyampaikan pendapat kita. Hati yang mengasihi itu tidak memegahkan diri (1 Korintus 13:4). Kasih juga memungkinkan kita tetap terbuka menerima pendapat orang lain, siap ketika sahabat kita balik mengoreksi kita dalam kasih (Galatia 6:1-4).

Seorang penulis Kristen, Gordon MacDonald menulis: "Ada sebuah 'keindahan' dalam persahabatan yang memberi aku ruang untuk menjadi diriku sendiri. Tetapi, yang lebih kubutuhkan sesungguhnya adalah sebuah hubungan yang dapat mendorong aku menjadi lebih baik daripada diriku sendiri. Aku perlu terus bertumbuh setiap hari. Aku tidak ingin tetap menjadi diriku yang kemarin. Aku ingin menjadi diriku yang bertumbuh setiap hari sebagai pribadi yang makin serupa Kristus."

Persahabatan yang baik itu saling membangun, adakalanya melalui perbedaan pendapat dan masukan yang jujur. Meskipun perbedaan pendapat tidaklah menyenangkan bagiku, aku mulai melihat betapa penting dan bernilainya pendapat yang berbeda itu. Ayo kita berjuang menjadi pribadi yang lebih baik dan mendorong sahabat-sahabat kita melakukan hal yang sama!

 
Untuk direnungkan lebih lanjut
Pernahkah kamu berbeda pendapat dengan sahabatmu? Bagaimana kamu menyikapinya?

0 komentar:

Posting Komentar