Santapan Rohani Hari Ini: Bahan yang Ajaib

Posted On // Leave a Comment

Santapan Rohani Hari Ini: Bahan yang Ajaib


Bahan yang Ajaib

Posted: 22 Jul 2015 10:00 AM PDT

Kamis, 23 Juli 2015

Bahan yang Ajaib

Baca: Yesaya 46:1-10

46:1 Dewa Bel sudah ditundukkan, dewa Nebo sudah direbahkan, patung-patungnya sudah diangkut di atas binatang, di atas hewan; yang pernah kamu arak, sekarang telah dimuatkan sebagai beban pada binatang yang lelah,

46:2 yang tidak dapat menyelamatkan bebannya itu. Dewa-dewa itu bersama-sama direbahkan dan ditundukkan dan mereka sendiri harus pergi sebagai tawanan.

46:3 “Dengarkanlah Aku, hai kaum keturunan Yakub, hai semua orang yang masih tinggal dari keturunan Israel, hai orang-orang yang Kudukung sejak dari kandungan, hai orang-orang yang Kujunjung sejak dari rahim.

46:4 Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.

46:5 Kepada siapakah kamu hendak menyamakan Aku, hendak membandingkan dan mengumpamakan Aku, sehingga kami sama?

46:6 Orang mengeluarkan emas dari dalam kantongnya dan menimbang perak dengan dacing, mereka mengupah tukang emas untuk membuat allah dari bahan itu, lalu mereka menyembahnya, juga sujud kepadanya!

46:7 Mereka mengangkatnya ke atas bahu dan memikulnya, lalu menaruhnya di tempatnya; di situ ia berdiri dan tidak dapat beralih dari tempatnya. Sekalipun orang berseru kepadanya, ia tidak menjawab dan ia tidak menyelamatkan mereka dari kesesakannya.

46:8 Ingatlah hal itu dan jadilah malu, pertimbangkanlah dalam hati, hai orang-orang pemberontak!

46:9 Ingatlah hal-hal yang dahulu dari sejak purbakala, bahwasanya Akulah Allah dan tidak ada yang lain, Akulah Allah dan tidak ada yang seperti Aku,

46:10 yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, yang berkata: Keputusan-Ku akan sampai, dan segala kehendak-Ku akan Kulaksanakan,

Dengan siapa hendak kamu samakan Aku, seakan-akan Aku seperti dia? —Yesaya 40:25

Bahan yang Ajaib

Siaran berita CNN menyebut suatu senyawa grafit sebagai “bahan yang ajaib” yang dapat mempengaruhi masa depan kita secara luar biasa. Grafena (graphene)—serat yang terdiri hanya dari satu lapis atom karbon—disebut-sebut sebagai satu-satunya material dua dimensi di tengah dunia tiga dimensi yang kita diami ini. Grafena berdaya tahan 100 kali lebih kuat daripada baja, lebih keras daripada intan, dapat mengalirkan listrik 1.000 kali lebih baik daripada tembaga, dan lebih lentur daripada karet.

Perkembangan teknologi seperti itu pada dasarnya bersifat netral—tidak baik tetapi tidak juga jahat. Namun kita perlu dengan bijak mengingat adanya keterbatasan dari segala sesuatu yang kita ciptakan untuk diri sendiri.

Nabi Yesaya berbicara pada sebuah generasi yang masih membawa ilah-ilah yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri ke tempat mereka dibuang. Sang nabi menghendaki orang Israel untuk melihat betapa ironisnya ketika mereka merasa perlu memberikan perhatian pada ilah-ilah berbahan emas dan perak yang telah mereka bentuk sendiri untuk mengilhami, menolong, menghibur, dan melindungi mereka.

Apa yang berlaku bagi bangsa Israel juga berlaku bagi kita di masa kini. Tidak ada satu pun yang kita buat atau yang kita beli untuk diri sendiri yang dapat memenuhi kebutuhan hati kita. Hanya Allah, yang telah memelihara kita “sejak dari kandungan” (Yes. 46:3-4), yang dapat memelihara kita hingga masa mendatang. —Mart DeHaan

Bapa, terima kasih untuk keajaiban dari persekutuan kami dengan-Mu. Tolonglah kami untuk tidak bergantung pada usaha, kekuatan, atau harta kami. Sebaliknya, kiranya kami senantiasa merasakan perhatian-Mu kepada kami.

Ilah adalah segalanya yang menggantikan posisi Allah yang seharusnya.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 33–34; Kisah Para Rasul 24

Remedial (Bagian 2 – selesai)

Posted: 22 Jul 2015 02:00 AM PDT

Oleh: Hana Maria Boone

Cerita sebelumnya …

Remedial Bagian2

Setelah sekitar tiga minggu dirawat, aku akhirnya diizinkan pulang ke rumah. Seperti yang sudah kuduga, aku segera diminta untuk membagikan kisahku. Kerabat, tetangga, teman-teman sekolah dan gereja, berkumpul untuk sebuah ibadah syukur.

Kisah apa yang akan aku katakan? Panggung sudah siap untuk menjadi tumpuanku berbagi cerita penuh mukjizat. Ibuku duduk di sampingku, berusaha menguatkanku, "Kamu sang penerima mukjizat!" katanya.

Aku menghela napas panjang, "Ya! aku sang penerima mukjizat, dan aku siap berkata-kata!" Aku berdiri di atas panggung, sedikit canggung, memegang mikrofon dengan linglung. Aku menyendengkan kepalaku ke kiri sesaat, kemudian kembali ke posisi semula. Semua orang menatapku. Aku tidak pernah bicara di depan orang sebanyak ini.

"Hari itu…"

Kronologis peristiwa mulai mengalir keluar dari mulutku, dan orang-orang berseru "Haleluya, halelulya!" padahal aku belum menyentuhkan nama Tuhan sedikit pun pada ceritaku. Aku tahu apa yang mereka harapkan, tetapi itu belum tentu apa yang Tuhan harapkan. Jadi aku bicara apa adanya, tentang semua yang aku pikirkan, setelah mengisahkan apa yang aku alami.

"Aku mungkin salah satu orang yang paling tak beruntung di antara mereka, karena aku harus menunggu kereta lain untuk membawaku bertemu Tuhan…."

Ruangan itu mendadak jauh lebih senyap.

"Tetapi, aku pikir, aku juga adalah salah satu orang yang paling beruntung karena diberi kesempatan untuk memperbaiki hidupku."

Aku berhenti sebentar untuk menata emosiku.

"Peristiwa ini membawa aku merenungkan jalan hidup manusia yang berbeda-beda. Apakah aku dicintai Tuhan? Apakah mereka yang telah pergi tidak dicintai Tuhan? Apakah keluargaku dicintai Tuhan? Apakah keluarga-keluarga yang saat ini hanya bisa bertemu dengan yang mereka kasihi dalam memori, tidak dicintai Tuhan?"

Aku memandang seluruh ruangan. Semua mata memperhatikanku. Aku menelan ludah. Mengeluarkan secarik kertas dari saku celana.

"Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu. Yesaya 55:8-9."

"Aku selamat bukan karena aku lebih suci atau lebih dicintai Tuhan daripada mereka. Hanya, dalam rancangan-Nya yang tidak seluruhnya kupahami, Tuhan memandang mereka lebih baik di sana, dan aku lebih baik di sini."

"Apa bedanya keluargaku dan keluarga mereka? Dalam kebijaksanaan Tuhan, keluargaku diminta untuk menerimaku kembali, dan keluarga mereka diminta untuk melepaskan mereka, sehingga nyata betul betapa kami tidak memegang kendali atas hidup ini, dan betapa kami membutuhkan Tuhan untuk bahagia yang sejati."

Suaraku mulai bergetar, aku dapat merasakan air mata membasahi pipiku. Dengan tangan yang juga gemetar aku mengusap kasar pipiku dan terdiam sejenak. Membayangkan kembali apa yang kulihat hari itu. Setelah merasa mendapatkan kekuatan kembali, aku pun melanjutkan.

"Hari itu di tempat kejadian aku melihat tangan Tuhan memegang mereka ketika mereka pergi. Aku melihat ibu yang kuberi tempat duduk, aku melihat para suster, aku melihat seorang ibu yang mendekap anak balitanya, aku melihat seorang pemuda dari Universitas Indonesia, mereka semua dipeluk oleh Tuhan. Aku melihat tangan Tuhan memegang tangan mereka, dan bukan hanya mereka.”

“Aku pun teringat ada janji Tuhan dalam Alkitab, bahwa barangsiapa yang percaya kepada-Nya tidak akan binasa, tetapi akan memasuki kehidupan kekal bersama Tuhan selamanya. Bukankah itu adalah janji untuk kehidupan baru setelah waktu kita di bumi ini selesai? Bukankah kebahagiaan dan kejayaan yang tidak akan berakhir adanya bukan di dunia ini, tetapi di surga nanti?"

Hening. Beberapa orang mulai menangis, beberapa memandangku tanpa ekspresi yang jelas, beberapa mengernyitkan dahi, dan beberapa memasang wajah simpatik. Tak ada lagi yang berani berteriak "Haleluya" atau "Puji Tuhan." Semua diam seribu bahasa.

"Aku teringat pada guruku yang baik hati. Hari itu aku memohon kepadanya untuk membantuku dalam ujian, dengan memberikan bocoran jawaban, tetapi pada saat ujian ia hanya mendampingiku dan tersenyum. Selama ini aku berpikir bahwa ia tidak sedang membantuku. Kini aku ingat, bahwa dua minggu sebelum masa ujian tiba, ia meluangkan waktunya setiap hari memberi pelajaran tambahan khusus untukku. Ia melakukan semua itu tanpa mengharapkan imbalan, untuk membantu aku dengan cara yang benar." Aku mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Berharap bisa melihat sosok yang baik hati itu.

"Guru yang baik tidak menjanjikan ujian yang mudah, tetapi ia menjanjikan kelulusan bagi mereka yang mengerjakannya sesuai dengan apa yang diajarkan. Guru yang baik tidak akan membuat anak-anak didik mereka malas belajar dengan memberi bocoran jawaban. Guru yang baik akan melepas murid-muridnya untuk berjuang menghadapi ujian yang sulit, setelah sebelumnya memberikan semua persiapan yang dibutuhkan. Ia akan mendorong mereka untuk meraih apa yang dijanjikannya, kepintaran dan kelulusan jika mereka sungguh-sungguh melakukan apa yang ia ajarkan.”

“Aku sadar sikapku kepada Tuhan seringkali sama seperti sikapku terhadap guruku yang baik hati itu. Well, mungkin bukan hanya aku. Jujur saja, bukankah seringkali kita menjadi murid-murid yang culas? Meminta jalan pintas yang mengenakkan kita saja, bahkan seringkali berusaha menyuap Tuhan untuk melakukan apa yang kita mau…"

Aku memandang ibuku menyeka matanya yang basah. Lalu tanteku, orang-orang gereja, teman-temanku. Semua yang hadir.

"Aku merasa tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua ini…"

"…tetapi selama aku masih diizinkan Tuhan berada dalam sekolah kehidupan, aku ingin menjadi murid yang terbaik. Saat kelak giliranku tiba memasuki kehidupan yang baru itu, aku ingin menghadap-Nya dengan hati lega, aku ingin sudah siap menerima mahkota. Inilah mukjizat yang Tuhan sudah berikan untukku… sebuah remedial."

0 komentar:

Posting Komentar