Santapan Rohani Hari Ini: Semua Itu Layak

Posted On // Leave a Comment

Santapan Rohani Hari Ini: Semua Itu Layak


Semua Itu Layak

Posted: 24 Jun 2015 10:00 AM PDT

Kamis, 25 Juni 2015

Semua Itu Layak

Baca: 1 Korintus 15:30-38

15:30 Dan kami juga–mengapakah kami setiap saat membawa diri kami ke dalam bahaya?

15:31 Saudara-saudara, tiap-tiap hari aku berhadapan dengan maut. Demi kebanggaanku akan kamu dalam Kristus Yesus, Tuhan kita, aku katakan, bahwa hal ini benar.

15:32 Kalau hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan manusia saja aku telah berjuang melawan binatang buas di Efesus, apakah gunanya hal itu bagiku? Jika orang mati tidak dibangkitkan, maka “marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati”.

15:33 Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.

15:34 Sadarlah kembali sebaik-baiknya dan jangan berbuat dosa lagi! Ada di antara kamu yang tidak mengenal Allah. Hal ini kukatakan, supaya kamu merasa malu.

15:35 Tetapi mungkin ada orang yang bertanya: “Bagaimanakah orang mati dibangkitkan? Dan dengan tubuh apakah mereka akan datang kembali?”

15:36 Hai orang bodoh! Apa yang engkau sendiri taburkan, tidak akan tumbuh dan hidup, kalau ia tidak mati dahulu.

15:37 Dan yang engkau taburkan bukanlah tubuh tanaman yang akan tumbuh, tetapi biji yang tidak berkulit, umpamanya biji gandum atau biji lain.

15:38 Tetapi Allah memberikan kepadanya suatu tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya: Ia memberikan kepada tiap-tiap biji tubuhnya sendiri.

Apa yang engkau sendiri taburkan, tidak akan tumbuh dan hidup, kalau ia tidak mati dahulu. —1 Korintus 15:36

Semua Itu Layak

Pada akhir abad ke-4, para pengikut Kristus tidak lagi dijadikan santapan singa untuk menghibur warga Roma. Namun hiburan yang berujung maut itu masih berlanjut sampai suatu hari seorang pria dengan berani melompat keluar dari tempat duduk penonton dan berusaha mencegah dua gladiator yang saling membunuh.

Nama orang itu adalah Telemachus. Sebagai seorang biarawan yang tinggal di gurun, ia datang ke Roma untuk berlibur. Namun ia tidak dapat menerima pertunjukan haus darah yang populer itu. Menurut Theodoret, seorang uskup abad ke-5 dan ahli sejarah gereja, Telemachus berteriak meminta kekejaman itu dihentikan. Namun ia justru dilempari batu sampai mati oleh para penonton. Kaisar Honorius mendengar tentang tindakannya yang berani itu dan memerintahkan diakhirinya hiburan maut tersebut.

Mungkin ada sebagian orang yang mempertanyakan tindakan Telemachus. Apakah itu satu-satunya cara untuk memprotes kekejaman olahraga berdarah tersebut? Rasul Paulus menanyakan pertanyaan serupa mengenai dirinya sendiri: “Mengapakah kami setiap saat membawa diri kami ke dalam bahaya?” (1Kor. 15:30). Di 2 Korintus 11:22-33, Paulus memaparkan perjuangan berat yang harus dialaminya dalam melayani Kristus, dan banyak di antaranya membuatnya berhadapan dengan maut. Apakah semua itu layak diperjuangkan?

Paulus tidak pernah menyangsikan hal itu. Menukarkan hal-hal yang fana dengan kehormatan yang bernilai kekal merupakan investasi yang cemerlang. Kelak dalam kebangkitan kita, kehidupan yang telah dijalani demi Kristus dan sesama menjadi benih bagi kekekalan yang tidak akan pernah kita sesali. —Mart DeHaan

Bapa, berilah kami keberanian mengambil dan menjalani keputusan kami untuk menyatakan pengaruh yang diperbuat kasih Yesus dalam hidup kami. Tolonglah kami untuk tidak menukarkan nilai-nilai kekekalan dengan tawaran yang membawa kemudahan dan kenyamanan hidup.

Sekaranglah saat yang tepat untuk berinvestasi dalam kekekalan.

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 3–4; Kisah Para Rasul 7:44-60

CeritaKaMu: Jadilah Kehendak-Mu (bagian 1)

Posted: 24 Jun 2015 02:00 AM PDT

Oleh: Ecclesias Elleazer

Jadilah-KehendakMu1

Sabtu pagi yang cerah. Kemilau matahari yang menembus celah jendela mendesakku untuk membuka mata. Kicauan burung sudah ramai terdengar. Sesuatu yang paling kusenangi sejak tinggal di kontrakan mungil di pinggir sawah ini. Memang untuk mencapai halte angkutan umum terdekat aku harus berjalan sekitar 1 km, tetapi aku lebih rela untuk jalan kaki agak jauh demi menikmati pagi sepi polusi di tempat ini.

"Pagi mbak Ellea," seorang ibu berbaju biru menyapaku begitu aku membuka jendela. Balita yang digendongnya tertawa-tawa riang.

"Pagi Bu Jum," balasku tersenyum lebar.

"Mawarnya sudah mekar, cantik sekali…," katanya menunjuk sebuah pot yang berada persis di depan jendela kamarku. Aku mengangguk gembira. Menghirup wanginya dalam-dalam.

"Pagi-pagi mau ke mana, Bu?"

"Ke posyandu, Mbak. Tanggal 15, Intan jadwalnya imunisasi nih," balas si ibu menunjuk balita dalam gendongannya sembari terus berjalan.

Aku melambai. Perasaanku tiba-tiba terasa campur aduk.

Di satu sisi aku sangat bersyukur. Untuk kemilau pagi, untuk semerbak bunga, untuk kicau burung, untuk keramahan warga di lingkungan baruku ini. Di sisi lain, kehangatan keluarga-keluarga di sekitarku membongkar kembali rindu yang tadinya telah terkubur dalam kalbu, menyodorkan kenyataan bahwa kini aku hidup seorang diri, tanpa ada yang menemani. Tak bisa disangkal, aku kerap merasa kesepian.

Dua tahun yang lalu, aku masih tinggal di kamar pribadi yang lebih seperti istana dibanding kamarku sekarang. Luasnya mungkin tiga kali kontrakanku ini. Bebas nyamuk, semut, dan kecoak. Setiap kali kenangan itu datang, rasa syukurku sangat cepat menguap. Berganti dengan rasa ingin menyerah dari kehidupan yang kini kujalani.

Aku beranjak keluar kamar, meraih handuk di gantungan sebelah pintu, menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Langkahku terhenti sebentar saat melewati kanvas di ruang tengah yang juga berfungsi sebagai ruang makan, dapur, dan ruang tamu. Aku tersenyum lega melihat lukisan yang akhirnya selesai kukerjakan tadi malam. Pesanan Pak Yudi. Pengusaha tahu yang baik hati. Lukisan itu akan menjadi hadiah Pak Yudi dan teman-teman kelompok kecilnya untuk ulang tahun pernikahan pendeta mereka. Lukisan itu juga menjadi hadiah untukku, karena dengan menyelesaikannya, aku akan bisa membayar uang kontrakanku untuk bulan ini. Lagi-lagi perasaanku jadi campur aduk. Dua tahun lalu, uang jajanku sebulan bisa membayar uang kontrakan ini selama lima bulan. Mengandalkan bakat melukis untuk hidup bukanlah jalan yang mudah. Kalau aku lulusan jurusan seni rupa dari universitas ternama mungkin ceritanya akan berbeda. Aku bahkan tidak sempat menyelesaikan SMA-ku. Jika bukan karena Pak Yudi dan kenalan-kenalannya, entah dari mana aku bisa mendapat pesanan lukisan setiap bulan.

***

Jam dinding menunjukkan pukul setengah dua siang ketika aku kembali dari mengantar lukisan ke rumah Pak Yudi dan singgah sebentar di warung makan. Matahari sangat terik di sepanjang perjalanan, membuatku merasa sangat gerah dan lelah. Begitu masuk rumah, aku segera menyalakan kipas angin lalu menyandarkan tubuh di sofa. Ahhh enaknya…. Entah sudah berapa lama usia sofa kusam ini, tetapi menurutku masih cukup nyaman untuk dipakai. Saatnya untuk bersantai, pikirku sambil merogoh tas, mencari-cari alat pemutar MP3 kesayanganku. Sepanjang pagi tadi aku sibuk membuat tiga sketsa lukisan baru. Sabtu pagi memang hari yang paling nyaman untuk menyelesaikan pesanan lukisan atau menggarap ide-ide baru. Sudah seminggu ini, dari hari Senin sampai Jumat aku sibuk menjadi asisten guru di sebuah taman bermain—pekerjaan yang baru kuperoleh, lagi-lagi atas rekomendasi Pak Yudi.

Banyak perkara yang tak dapat kumengerti
Mengapakah harus terjadi di dalam kehidupan ini
Satu perkara yang kusimpan dalam hati
Tiada sesuatu 'kan terjadi tanpa Allah peduli

Ternyata tidak mudah bagiku untuk bersantai sepenuhnya. Baru satu bait lagu itu mengalun, lelehan kristal bening sudah berlomba membasahi pipiku. Tuhan, berapa lama lagi aku harus hidup seperti ini?

Allah mengerti Allah peduli
Segala persoalan yang kita hadapi
Tak akan pernah dibiarkannya
Kubergumul sendiri
S'bab Allah peduli

"Ya, Tuhan, aku tahu Engkau peduli dan mendengar doa-doaku, aku tidak akan menyerah … jadilah kehendak-Mu dalam hidupku," gumanku dalam hati, berusaha menepis bayangan-bayangan masa lalu dan impian-impian masa depan yang membanjiri pikiranku. Memangnya kamu sudah siap bila Tuhan menjawab doamu sekarang? Pertanyaan itu tiba-tiba muncul, menggantung di ambang pikiranku. Namun, aku sudah terlalu lelah untuk menanggapinya. Pipiku yang basah mulai mengering oleh semilir kipas angin. Bersamaan dengan itu, aku pun terlelap.

"Ellea …" Sebuah tangan yang halus terasa membelai wajahku. Aku tersentak bangun. Mataku terbelalak mendapati orang yang selama ini kurindukan berada di hadapanku. Tanpa pikir panjang aku memeluknya. Ia balas memelukku. Lalu tiba-tiba sebuah bayangan masa lalu yang sangat kuat menghampiri pikiranku. Seperti tersadar dari mimpi, aku segera melepaskan pelukanku dan mendorong orang itu dengan kasar.

"Bagaimana kalian bisa ada di sini? Mau apa kalian datang?" Aku berteriak-teriak seperti orang gila sambil mengusap air mata yang mengalir tanpa bisa kukendalikan. Semua peristiwa yang tadinya sudah kusimpan rapat-rapat seolah diputar kembali di hadapanku.

 
Bersambung …

0 komentar:

Posting Komentar