Santapan Rohani Hari Ini: Misteri yang Tersembunyi |
Posted: 25 Jun 2015 10:00 AM PDT Jumat, 26 Juni 2015 Baca: 2 Raja-Raja 6:15-236:15 Ketika pelayan abdi Allah bangun pagi-pagi dan pergi ke luar, maka tampaklah suatu tentara dengan kuda dan kereta ada di sekeliling kota itu. Lalu berkatalah bujangnya itu kepadanya: “Celaka tuanku! Apakah yang akan kita perbuat?” 6:16 Jawabnya: “Jangan takut, sebab lebih banyak yang menyertai kita dari pada yang menyertai mereka.” 6:17 Lalu berdoalah Elisa: “Ya TUHAN: Bukalah kiranya matanya, supaya ia melihat.” Maka TUHAN membuka mata bujang itu, sehingga ia melihat. Tampaklah gunung itu penuh dengan kuda dan kereta berapi sekeliling Elisa. 6:18 Ketika orang-orang Aram itu turun mendatangi dia, berdoalah Elisa kepada TUHAN: “Butakanlah kiranya mata orang-orang ini.” Maka dibutakan-Nyalah mata mereka, sesuai dengan doa Elisa. 6:19 Kemudian berkatalah Elisa kepada mereka: “Bukan ini jalannya dan bukan ini kotanya. Ikutlah aku, maka aku akan mengantarkan kamu kepada orang yang kamu cari.” Lalu diantarkannya mereka ke Samaria. 6:20 Segera sesudah mereka sampai ke Samaria berkatalah Elisa: “Ya TUHAN, bukalah mata orang-orang ini, supaya mereka melihat.” Lalu TUHAN membuka mata mereka, sehingga mereka melihat, dan heran, mereka ada di tengah-tengah Samaria. 6:21 Lalu bertanyalah raja Israel kepada Elisa, tatkala melihat mereka: “Kubunuhkah mereka, bapak?” 6:22 Tetapi jawabnya: “Jangan! Biasakah kaubunuh yang kautawan dengan pedangmu dan dengan panahmu? Tetapi hidangkanlah makanan dan minuman di depan mereka, supaya mereka makan dan minum, lalu pulang kepada tuan mereka.” 6:23 Disediakannyalah bagi mereka jamuan yang besar, maka makan dan minumlah mereka. Sesudah itu dibiarkannyalah mereka pulang kepada tuan mereka. Sejak itu tidak ada lagi gerombolan-gerombolan Aram memasuki negeri Israel. Dikutip dari Alkitab Terjemahan Baru Indonesia (c) LAI 1974 Jangan takut, sebab lebih banyak yang menyertai kita dari pada yang menyertai mereka. —2 Raja-Raja 6:16 Sebagian besar yang terjadi di alam semesta ini tidak pernah dapat kita lihat. Banyak yang ukurannya terlalu kecil, bergerak terlalu cepat, atau bahkan terlalu lambat untuk dapat kita lihat. Namun dengan bantuan teknologi modern, seorang pembuat film bernama Louis Schwartzberg bisa menangkap gambar-gambar bergerak yang menakjubkan dari benda dan gerakan seperti mulut seekor ulat bulu, mata seekor lalat, dan proses bertumbuhnya sebuah jamur. Keterbatasan kita untuk melihat bagianyang sangat kecil, rumit, dan menakjubkan dari benda-benda di alam yang kasatmata ini mengingatkan bahwa kemampuan kita untuk dapat melihat dan memahami apa yang sedang terjadi di alam rohani juga sama terbatasnya. Di sekitar kita, Allah terus mengerjakan hal-hal yang jauh lebih indah daripada yang dapat kita bayangkan. Namun demikian, pandangan rohani kita terbatas dan kita tidak dapat melihatnya. Akan tetapi, Nabi Elisa dapat melihat karya supernatural yang sedang Allah kerjakan. Allah juga membuka mata bujang Elisa yang ketakutan agar ia juga dapat melihat balatentara surga yang diutus-Nya untuk berperang bagi mereka (2Raj. 6:17). Rasa takut membuat kita merasa lemah dan tak berdaya. Kita juga dibuat berpikir bahwa kita hanya seorang diri di dunia ini. Namun Allah telah meyakinkan kita bahwa Roh-Nya, yang ada di dalam kita, lebih besar daripada kuasa mana pun yang ada di dunia ini (1Yoh. 4:4). Ketika kita merasa kecil hati karena melihat segala kejahatan yang terjadi, kita justru perlu memikirkan segala pekerjaan baik, yang tidak kasatmata, yang sedang dikerjakan Allah. —Julie Ackerman Link Ya Tuhan, aku cenderung merasa takut terhadap sesuatu yang tak bisa kumengerti atau kukendalikan. Namun jaminanku ada di dalam Engkau dan bukan pada segala yang terjadi padaku atau di sekitarku. Tolonglah aku untuk tinggal tenang di dalam kasih-Mu yang tiada berkesudahan. Dengan mata iman, kita melihat Allah berkarya dalam segala sesuatu. Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 5–7; Kisah Para Rasul 8:1-25 |
CeritaKaMu: Jadilah Kehendak-Mu (bagian 2) Posted: 25 Jun 2015 02:00 AM PDT Oleh: Ecclesias Elleazer Suara itu lagi. Teriakan itu lagi. Bunyi keras itu lagi. Hampir setiap hari hanya itu yang dapat ku dengar. Papa dan mamaku selalu bertengkar setiap hari, bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Umpatan kasar sering terlontar dari mulut mamaku, menuduh papa tidak lagi memperhatikan keluarganya. Bantahan papa tidak kalah kasarnya, terutama bila ia kelihatan sangat lelah sepulang kantor. Kadang ia sampai menggebrak meja atau membanting barang. Aku yang mendengarkan mereka, merasa lebih lelah lagi. Tidak ada yang menemaniku belajar. Tidak ada yang mendengarkan ceritaku, apalagi keluh kesahku. Kedua orangtuaku sebenarnya adalah orang Kristen, namun menurutku, kehidupan mereka tidak ada bedanya dengan orang yang tidak kenal Tuhan. Mereka jarang berdoa, apalagi ke gereja dan membaca Alkitab. Sepertinya mereka tidak pernah berpikir panjang, apalagi mempertimbangkan apa kata firman Tuhan, dalam mengambil keputusan-keputusan. Termasuk keputusan untuk bercerai. Aku menjadi seperti orang yang yang kehilangan separuh nyawa. Sebelum sidang perceraian itu dilakukan, aku memutuskan untuk pergi dari rumah dengan membawa seluruh tabunganku, menghilang dari kehidupan kedua orangtuaku. Dalam keadaan depresi, aku mulai terjerumus pergaulan bebas karena pengaruh seorang teman kos. Aku ikut menggunakan narkoba dan minuman keras sebagai pelampiasan rasa kecewa atas keluargaku. Singkat cerita, hidupku berantakan, gara-gara kedua orangtuaku! "Ellea, kami sangat menyesal…." sosok di hadapanku kini ikut bersimbah air mata melihatku melangkah mundur di belakang sofa, menjaga jarak dengan mereka. Menyesal! Aku tertegun. Momen-momen tertentu dalam hidupku seolah berulang. Hari itu aku juga merasakan penyesalan yang luar biasa. Hidupku terasa kosong dan sia-sia. Duduk sendiri di teras kos, aku bertanya-tanya apakah masih ada harapan bagiku. Tadi malam aku baru saja menggadaikan handphone kesayanganku demi bisa membeli sepaket shabu. Kedengarannya mungkin konyol, namun apa daya, sekujur tubuhku sudah meronta dan menyiksaku sepanjang hari. Air mataku meleleh. Aku merasa sangat lemah. Aku menyesal, tetapi tidak tahu harus mulai darimana memperbaiki hidupku. "Tuhan, jika Engkau ada, tunjukkan jalan-Mu untuk aku bisa bangkit lagi…" bisikku lirih dalam hati. "Pagi, Neng!" Aku buru-buru mengeringkan pipiku yang basah. Seorang bapak tua berkemeja batik tersenyum lebar sembari berjalan tertatih-tatih melintasi jalan di depan kosku. Pak Yudi. Pengusaha tahu berdarah Sunda yang juga membuka warung di ujung gang. Ia tinggal sendirian. Anak dan isterinya meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis. Entah apa yang membuat bapak itu begitu tegar. Ia sangat ramah kepada anak-anak kos sepertiku. "Ada apa Neng?" Pak Yudi tampak khawatir melihatku. Ia menghentikan langkahnya dan mendekati pagar. Tangannya yang sudah mulai keriput memegang sebuah tas Alkitab dari kulit. Aku tahu ia baru pulang dari gereja yang berjarak sekitar 1,5 km dari rumahnya. Sebuah perjalanan yang terbilang jauh, apalagi untuk orang seusianya. Setiap yang melihatnya bisa merasakan betapa berartinya Tuhan dalam kehidupan Pak Yudi. Biasanya ia mengikuti kebaktian paling pagi, sehingga pukul 10 seperti sekarang ia sudah dalam perjalanan pulang. Aku tidak bisa menahan tangis. Sosok Pak Yudi mengingatkanku pada papaku sendiri. Papa yang aku rindukan sekaligus kubenci setengah mati. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Pak.. aku merasa hidupku sangat kosong dan sia-sia." ujarku lirih di sela derai tangisku, ketika Pak Yudi duduk di sebelahku. Entah bagaimana, cerita hidupku mengalir begitu saja. Ketika selesai, aku merasa tak percaya baru saja membuka segala kebobrokanku dan keluargaku di depan seorang yang tidak terlalu kukenal. Aku merasa sangat malu. Namun, sorot mata Pak Yudi sama sekali tidak melecehkanku. Ia menepuk pundakku dengan lembut. "Tidak ada jalan keluar selain datang pada Tuhan, Neng. Jangan ditunda lagi," katanya pelan namun tegas. "Tapi Pak, apa Tuhan masih mau menerimaku yang seperti ini?" aku masih terisak-isak. Pak Yudi mengangguk sambil tersenyum. Tangannya yang keriput membuka Alkitab di pangkuannya. "Tuhan berkata kepada umat-Nya: '…engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau.'" Lalu ia kembali menatapku dalam-dalam. "Dosa memang membuat hidup kita berantakan Neng. Tetapi, bagaimanapun keadaan kita, Tuhan mau menerima kita. Dia mengasihi kita dan memandang kita berharga. Dia menciptakan kita menurut gambar-Nya, dan Dia ingin memulihkan hidup kita untuk dapat kembali mencerminkan kemuliaan-Nya." Aku tidak sepenuhnya memahami apa yang dimaksud Pak Yudi. Namun, kata-katanya menyejukkan hatiku. "Kita manusia, selalu ingin menyelesaikan masalah dengan cara kita sendiri, namun kenyataannya, cara kita menyelesaikan masalah seringkali malah membawa masalah baru, Neng. Hanya Tuhan yang paling tahu cara terbaik untuk menyelesaikan masalah kita. Bagian kita adalah percaya dan mengikuti apa kata firman-Nya.” “Dan dalam firman-Nya, Dia mengundang kita untuk datang kepada-Nya, Neng. Yesus berkata, 'Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.'" Aku mengangguk pelan dan tidak menolak ketika kemudian diajak Pak Yudi berdoa. Minggu itu sangat berat untuk kulalui, namun aku akhirnya membulatkan tekad untuk pergi ke gereja. Aku ingin memulai babak baru dalam hidupku. Pak Yudi menunjukkan informasi tentang sebuah panti rehabilitasi yang ada di bawah asuhan gereja. Mereka juga menyediakan bantuan dana bagi yang benar-benar membutuhkan. Dengan yakin aku segera mendaftarkan diri. Aku tahu bila aku tetap tinggal di kos, akan sulit bagiku untuk menghindari pengaruh narkoba. Mereka yang telah menjerumuskanku jelas tidak akan melepaskanku dengan mudah. Aku juga meminta bantuan pak Yudi untuk mencarikan aku tempat kontrakan yang baru setelah rehabilitasiku berakhir. |
You are subscribed to email updates from WarungSaTeKaMu.org To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |
0 komentar:
Posting Komentar