Santapan Rohani Hari Ini: Keseluruhan Cerita

Posted On // Leave a Comment

Santapan Rohani Hari Ini: Keseluruhan Cerita


Keseluruhan Cerita

Posted: 26 Jun 2015 10:00 AM PDT

Sabtu, 27 Juni 2015

Keseluruhan Cerita

Baca: Kisah Para Rasul 8:26-37

8:26 Kemudian berkatalah seorang malaikat Tuhan kepada Filipus, katanya: “Bangunlah dan berangkatlah ke sebelah selatan, menurut jalan yang turun dari Yerusalem ke Gaza.” Jalan itu jalan yang sunyi.

8:27 Lalu berangkatlah Filipus. Adalah seorang Etiopia, seorang sida-sida, pembesar dan kepala perbendaharaan Sri Kandake, ratu negeri Etiopia, yang pergi ke Yerusalem untuk beribadah.

8:28 Sekarang orang itu sedang dalam perjalanan pulang dan duduk dalam keretanya sambil membaca kitab nabi Yesaya.

8:29 Lalu kata Roh kepada Filipus: “Pergilah ke situ dan dekatilah kereta itu!”

8:30 Filipus segera ke situ dan mendengar sida-sida itu sedang membaca kitab nabi Yesaya. Kata Filipus: “Mengertikah tuan apa yang tuan baca itu?”

8:31 Jawabnya: “Bagaimanakah aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?” Lalu ia meminta Filipus naik dan duduk di sampingnya.

8:32 Nas yang dibacanya itu berbunyi seperti berikut: Seperti seekor domba Ia dibawa ke pembantaian; dan seperti anak domba yang kelu di depan orang yang menggunting bulunya, demikianlah Ia tidak membuka mulut-Nya.

8:33 Dalam kehinaan-Nya berlangsunglah hukuman-Nya; siapakah yang akan menceriterakan asal-usul-Nya? Sebab nyawa-Nya diambil dari bumi.

8:34 Maka kata sida-sida itu kepada Filipus: “Aku bertanya kepadamu, tentang siapakah nabi berkata demikian? Tentang dirinya sendiri atau tentang orang lain?”

8:35 Maka mulailah Filipus berbicara dan bertolak dari nas itu ia memberitakan Injil Yesus kepadanya.

8:36 Mereka melanjutkan perjalanan mereka, dan tiba di suatu tempat yang ada air. Lalu kata sida-sida itu: “Lihat, di situ ada air; apakah halangannya, jika aku dibaptis?”

8:37 (Sahut Filipus: “Jika tuan percaya dengan segenap hati, boleh.” Jawabnya: “Aku percaya, bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah.”)

Filipus berbicara dan bertolak dari nas itu ia memberitakan Injil Yesus kepadanya. —Kisah Para Rasul 8:35

Keseluruhan Cerita

Baru-baru ini Dallas, cucu laki-laki saya yang berusia 5 tahun, bertanya, “Mengapa Yesus mati di kayu salib?” Jadi kami membahasnya sejenak. Saya menjelaskan kepadanya tentang dosa dan kerelaan Yesus menjadi korban bagi kita. Setelah itu ia lari ke luar untuk bermain.

Tidak lama kemudian, saya mendengar Dallas berbicara dengan Katie, sepupunya yang sebaya dengannya. Ia menjelaskan kepada Katie mengapa Yesus mati. Katie berkata, “Tetapi Yesus tidak mati.” Dallas menjawab, “Ya, Dia sudah mati. Kakek yang bilang begitu. Dia mati di kayu salib.”

Saya sadar belum menyelesaikan ceritanya. Jadi saya mengajak Dallas bicara lagi untuk menjelaskan bahwa Yesus telah bangkit dari kematian. Kami membahas segalanya dari awal lagi sampai ia mengerti bahwa saat ini Yesus hidup, meskipun memang Dia pernah mati bagi kita. Ini mengingatkan kita bahwa orang perlu mendengar Injil secara utuh. Ketika seorang pria asal Etiopia bertanya kepada Filipus tentang satu bagian Kitab Suci yang tidak ia mengerti, Filipus “berbicara dan bertolak dari nas itu ia memberitakan Injil Yesus kepadanya” (Kis. 8:35).

Bagikanlah kepada orang lain kabar baik tentang Yesus: bahwa kita semua adalah orang berdosa yang memerlukan keselamatan, bahwa Anak Allah yang sempurna telah mati untuk menyelamatkan kita; dan bahwa Dia telah bangkit dari kubur dan membuktikan kuasa-Nya atas kematian. Yesus, Juruselamat kita, kini hidup dan rindu menyatakan hidup-Nya itu melalui diri kita.

Ketika seseorang ingin mengetahui tentang Yesus, pastikan bahwa kamu membagikan kisah tentang Dia secara utuh. —Dave Branon

Tuhan, kisah-Mu sungguh menakjubkan. Tolonglah kami untuk membagikannya secara utuh sehingga orang lain dapat percaya kepada-Mu dan menikmati keselamatan yang Engkau tawarkan bagi semua orang yang mau percaya.

Jawab Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.” —Yohanes 11:25

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 8–10; Kisah Para Rasul 8:26-40

CeritaKaMu: Jadilah Kehendak-Mu (bagian 3 – tamat)

Posted: 26 Jun 2015 02:00 AM PDT

Oleh: Ecclesias Elleazer

Cerita sebelumnya

Jadilah-KehendakMu3

Perlahan namun pasti, aku mulai menata kehidupanku lagi. Aku menyadari betul itu bukan karena kekuatanku sendiri, namun karena kasih karunia Tuhan. Pak Yudi dan teman-teman gereja membantuku untuk bangkit lagi. Dengan kemampuan lukisku, aku mulai bekerja untuk menyambung hidup. Aku juga mulai aktif melayani di gereja. Sungguh aku sangat bersyukur bisa kembali menjalani hidup dengan pikiran yang jernih.

Meski begitu, ada satu hal yang masih terus menghantui hidupku. Aku masih sulit sekali melepaskan pengampunan bagi orangtuaku. Setiap kali ada pembicaraan yang menyinggung tentang mereka, nada suaraku berubah menjadi ketus. Pak Yudi pernah menegurku, mengingatkanku pada firman Tuhan.

"Neng, dalam Matius 6:14-15 Tuhan mengatakan 'jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.' Bapak dulu juga susah mengampuni orang yang menabrak istri dan anak Bapak, tapi percayalah Neng, hidup Neng gak akan tenang kalau Neng tidak mau mengampuni. Kalau orangtua Neng tetap keras hati dan tidak mau hidup bersama lagi itu urusan mereka dengan Tuhan. Bagian Neng adalah mengampuni dan menghormati mereka. Bukankah Tuhan juga sudah mengampuni Neng?"

Aku terdiam, memilih untuk tidak mendebat Pak Yudi yang sudah kuanggap seperti bapakku sendiri. Namun, hatiku masih protes. Mengampuni dan menghormati kedua orangtuaku? Apakah mereka masih merasa menjadi orangtua dari seorang Ellea? Mungkin saja mereka sudah tidak ingat kalau mereka pernah punya seorang anak perempuan yang mereka sia-siakan. Meski firman Tuhan sangat jelas menyatakan bahwa aku harus mengampuni, praktiknya bagiku tidak semudah itu.

"Ellea, kami sangat menyesal….." sosok di depanku mengulangi pernyataannya dengan wajah penuh air mata.

"Maafkan kami karena kami begitu egois dan tidak memikirkan masa depanmu. Kamu pasti sangat menderita…"

Badanku terasa kaku, tanganku bergetar memegangi pinggir sofa yang mulai mengelupas. Aku tidak mengerti keajaiban apa gerangan yang telah membawa papa dan mamaku ke tempat ini. Aku melihat mamaku terisak-isak dalam pelukan papaku. Bertahun-tahun aku ingin melihat mereka berangkulan seperti itu. Wajah mereka tampak letih dan makin tua, meski sebenarnya baru dua tahun kami berpisah.

"Ada banyak hal yang terjadi setelah kamu pergi dari rumah, Ellea…" papaku angkat bicara dengan suaranya yang berat. Desahannya juga terdengar sangat berat.

"Kami tidak jadi bercerai. Memang belum semua masalah kami bisa dibereskan, tetapi satu hal yang pasti, kami tidak ingin kehilangan kamu. Kalau kamu bersedia Ellea, kembalilah pulang. Kita mulai kembali lembaran baru untuk keluarga kita…"

Aku hampir tidak percaya dengan apa yang kudengar. Air mataku tak terbendung. Seharusnya aku bahagia. Namun, entah kenapa aku masih ragu. Apa jaminannya mereka tidak akan bertengkar dan menyakitiku lagi? Tuhan, apa yang harus kulakukan sekarang? Ayat-ayat firman Tuhan yang kubaca dalam beberapa bulan terakhir bermunculan di kepalaku. Aku tertegun menyadari Roh Kudus tengah mengingatkanku tentang apa yang Tuhan ingin aku lakukan sebagai anak-Nya.

" … sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian." (Kolose 3:13)

"… hendaklah kamu … saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu." (Efesus 4:32)

"Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.” (Lukas 17:4)

"… ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami…" (Matius 6:12)

Aku tahu ini bukan masalah orangtuaku lagi. Ini masalah hatiku sendiri di hadapan Tuhan. Aku ingat begitu seringnya aku berdoa “jadilah kehendak-Mu, Tuhan, di dalam hidupku.” Dan kini, aku diperhadapkan pada pilihan, apakah aku akan membiarkan kehendak Tuhan itu dinyatakan dalam tindakanku atau tidak. Aku menarik napas dalam-dalam. Saatnya mengambil keputusan. Sekarang atau tidak sama sekali. Mengikuti kehendak Tuhan, atau kehendak hatiku sendiri.

"Papa tahu, kamu mungkin butuh waktu untuk memaafkan papa dan mama…" sosok gagah di hadapanku berujar pelan sambil menundukkan kepala seperti seorang prajurit kalah perang.

"Papa…mama… aku…. memaafkan kalian," kalimat itu akhirnya terucap mantap meski banjir air mata kembali tidak terhindarkan membasahi wajahku. Aku menghambur memeluk mama, lalu papa, dengan kelegaan yang luar biasa.

"Terima kasih Ellea…" mama berbisik lirih. Papa menggenggam tanganku erat-erat.

***

Sabtu pagi yang cerah. Kemilau matahari yang menembus celah jendela mendesakku untuk membuka mata. Aku melompat dari tempat tidurku dengan penuh semangat, membuka jendela lebar-lebar. Tidak ada sawah. Yang ada hanya pekarangan luas penuh pepohonan rindang dan bunga-bunga. Aku kembali berada di kamarku sendiri, asyik membayangkan memindahkan lukisan alam yang indah itu ke dalam salah satu kanvasku. Ah, indahnya!

"Sudah bangun? Ayo turun sini, ikut papa potong rumput!" Aku tertawa lepas. Belum pernah merasa sebahagia ini. Dulu, hampir mustahil melihat papa ada di rumah pada hari Sabtu.

"Papa belum cerita, bagaimana caranya bisa menemukanku di rumah itu," tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Papa tersenyum lebar, "Ada teman papa yang bekerja di panti rehabilitasi asuhan gereja itu." Aku terpana. Wow! Tuhan punya cara yang tak terduga dalam mempertemukan kami kembali. Bayangan Pak Yudi dan teman-teman gereja yang pernah membantuku, melintas di pikiranku.

"Kita manusia, selalu ingin menyelesaikan masalah dengan cara kita sendiri, namun kenyataannya, cara kita menyelesaikan masalah seringkali malah membawa masalah baru, Neng. Hanya Tuhan yang paling tahu cara terbaik untuk menyelesaikan masalah kita. Bagian kita adalah percaya dan mengikuti apa kata firman-Nya,” kata-kata Pak Yudi kembali terngiang di telingaku.

"Ayo turun! Tunggu apa lagi?" aku tersenyum lebar dan mengacungkan kedua jempolku. Sembari menuruni tangga, hatiku spontan bersenandung.

Bersama-Mu Bapa, kulewati semua…
PerkenananMu yang teguhkan hatiku…
Engkau yang bertindak memb'ri pertolongan…
AnugerahMu besar melimpah bagiku…

Aku tidak tahu apa yang akan kami hadapi sebagai keluarga ke depan. Namun, aku tahu bersama Tuhan, kami akan melewati semua dan bertumbuh di dalamnya. Bagian kami adalah belajar menjalani hidup sesuai dengan firman-Nya, bukan mengikuti kehendak kami sendiri, karena kehendak-Nya jelas yang terbaik bagi kami semua.

0 komentar:

Posting Komentar