Santapan Rohani Hari Ini: Arus yang Mengecoh

Posted On // Leave a Comment

Santapan Rohani Hari Ini: Arus yang Mengecoh


Arus yang Mengecoh

Posted: 08 Jun 2015 10:00 AM PDT

Selasa, 9 Juni 2015

Arus yang Mengecoh

Baca: Ulangan 8:11-20

8:11 Hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN, Allahmu, dengan tidak berpegang pada perintah, peraturan dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini;

8:12 dan supaya, apabila engkau sudah makan dan kenyang, mendirikan rumah-rumah yang baik serta mendiaminya,

8:13 dan apabila lembu sapimu dan kambing dombamu bertambah banyak dan emas serta perakmu bertambah banyak, dan segala yang ada padamu bertambah banyak,

8:14 jangan engkau tinggi hati, sehingga engkau melupakan TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan,

8:15 dan yang memimpin engkau melalui padang gurun yang besar dan dahsyat itu, dengan ular-ular yang ganas serta kalajengkingnya dan tanahnya yang gersang, yang tidak ada air. Dia yang membuat air keluar bagimu dari gunung batu yang keras,

8:16 dan yang di padang gurun memberi engkau makan manna, yang tidak dikenal oleh nenek moyangmu, supaya direndahkan-Nya hatimu dan dicobai-Nya engkau, hanya untuk berbuat baik kepadamu akhirnya.

8:17 Maka janganlah kaukatakan dalam hatimu: Kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini.

8:18 Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, seperti sekarang ini.

8:19 Tetapi jika engkau sama sekali melupakan TUHAN, Allahmu, dan mengikuti allah lain, beribadah kepadanya dan sujud menyembah kepadanya, aku memperingatkan kepadamu hari ini, bahwa kamu pasti binasa;

8:20 seperti bangsa-bangsa, yang dibinasakan TUHAN di hadapanmu, kamupun akan binasa, sebab kamu tidak mau mendengarkan suara TUHAN, Allahmu.”

Ketika mereka makan rumput, maka mereka kenyang; setelah mereka kenyang, maka hati mereka meninggi. —Hosea 13:6

Arus yang Mengecoh

Di buku berjudul The Hidden Brain (Otak yang Tersembunyi), penulis ilmiah Shankar Vedantam menceritakan pengalamannya berenang ke pantai. Air saat itu tenang dan jernih, dan ia merasa kuat dan bangga karena dapat menempuh jarak yang jauh dengan mudah. Lalu ia memutuskan untuk berenang menjauh dari teluk menuju laut lepas. Namun saat berusaha untuk kembali, ia tak bisa bergerak maju. Ia telah dikecoh oleh arus air. Yang membuatnya berenang dengan mudah bukanlah kekuatannya sendiri melainkan pergerakan air.

Situasi serupa juga bisa terjadi dalam hubungan kita dengan Allah. “Mengikuti arus” bisa mengecoh hingga kita merasa lebih kuat daripada keadaan kita yang sebenarnya. Ketika hidup berjalan lancar, kita berpikir itu karena kekuatan kita sendiri. Kita menjadi sombong dan tinggi hati. Namun pada saat masalah-masalah menimpa, kita baru menyadari betapa kecilnya kekuatan kita dan betapa tidak berdayanya diri kita.

Itulah pengalaman bangsa Israel. Allah telah memberkati mereka dengan kemenangan, kedamaian dan kemakmuran. Namun jika mereka pikir semua itu diraih dengan kekuatan mereka sendiri, mereka menjadi sombong dan merasa tak membutuhkan siapa pun (Ul. 8:11-12). Karena merasa tak lagi memerlukan Allah, mereka menempuh jalan mereka sendiri, sampai akhirnya musuh menyerang barulah mereka sadar bahwa tanpa pertolongan Allah, mereka tidak berdaya sama sekali.

Saat hidup berjalan mulus, kita juga perlu waspada agar tidak terkecoh. Kesombongan akan menjerumuskan kita. Hanya kerendahan hati yang membuat kita mempunyai sikap yang sepatutnya—bersyukur kepada Allah dan bergantung pada kekuatan-Nya. Julie Ackerman Link

Tuhan, kami tak berani mengandalkan kekuatan sendiri untuk tugas kami hari ini. Engkau yang memberi kami talenta dan kesempatan. Tolonglah agar kami memakai semua itu bukan demi kami sendiri, tetapi untuk menolong orang lain.

Kerendahan hati yang sejati berarti mengakui Allah sebagai sumber setiap keberhasilan.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 32–33; Yohanes 18:19-40

Keluarga Ya Kayak Gini …

Posted: 08 Jun 2015 02:00 AM PDT

Oleh: Sheila May

accepting-my-broken-family

"Kesalahan terbesar dalam hidupku adalah menikahimu!" sangat sering aku mendengar kedua orangtuaku saling melontarkan kalimat itu sejak aku masih duduk di bangku TK. Pertengkaran bahkan baku hantam di antara mereka kerap terjadi tepat di depan mataku dan saudara-saudaraku. Hampir setiap hari kami harus menjadi penyambung lidah saat mereka perlu berkomunikasi satu sama lain. Ketika usiaku menginjak dua belas tahun, orangtuaku akhirnya memutuskan untuk pisah rumah.

"Tidak usah dipedulikan. Itu urusan mereka." Itulah pemikiran kanak-kanakku saat menghadapi 'pisah rumah' tersebut. Akan tetapi, seiring dengan bertambahnya usiaku, aku mulai menyadari, masalah ini lebih besar dari yang kupikirkan. Tidak mungkin bisa aku tidak peduli. Aku ada di dalamnya! Aku pun mulai frustasi.

"Keluarga" menjadi topik yang selalu kuhindari dalam perbincangan dengan teman-temanku. Aku berusaha menghapus kata itu dalam pikiranku. Suatu hari aku diajak pergi oleh keluarga temanku; kami naik mobil bersama. Mendengarkan mereka berbincang dan bercanda biasa, tiba-tiba perasaan yang hangat menyelimuti hatiku. Diam-diam aku menangis, entah mengapa. Aku merasa senang, sedih, sekaligus prihatin dengan diriku sendiri. Aku berkata kepada diriku sendiri, "Oh, kayak gini yang namanya keluarga…"

Kembali melihat kondisi keluargaku sendiri, aku merasa sangat kecewa. Aku marah! Aku membenci semua orang di dalam keluargaku, dan tidak berusaha menyembunyikan perasaanku itu. Aku memuntahkan semua pikiran dan emosiku kepada teman-temanku. Mereka mulai menjauhiku dan menganggapku sangat menyebalkan. Aku lelah hidup bersama keluargaku, tetapi aku juga tidak bisa ke mana-mana. Rasanya lama-lama aku bisa jadi gila!

Tiga tahun setelah orangtuaku berpisah, aku sangat tidak betah di rumah. Sering aku berjalan kaki pulang sekolah supaya tidak cepat tiba di rumah. Satu-satunya alasan aku pulang ke rumah adalah untuk tidur di malam hari. Suatu hari, seorang teman mengajakku pergi ke gerejanya. Segera saja aku menyambut ajakan itu. Alasan yang bagus untuk tidak berada rumah, begitulah pikirku. Beberapa waktu kemudian aku mendengar bahwa gereja itu akan mengadakan retret selama tiga hari. Wah, tiga hari tidak di rumah! Tanpa pikir panjang, aku langsung mendaftarkan diri.

Tiga hari itu membuat hidupku tidak pernah sama lagi. Di sanalah aku mengenal Allah yang menyelamatkanku. Aku menyadari keberdosaanku, dan pada saat yang bersamaan, menemukan pengampunan dan kasih yang dikaruniakan Allah kepadaku. Aku merasa sangat bersyukur.

Akan tetapi, tidak berarti hidupku lantas bebas dari masalah. Kembali ke rumah, aku masih menghadapi 'peperangan' yang sama setiap hari. Tidak serta merta aku menjadi anak yang baik, manis, dan taat. Aku masih bergumul dengan karakter yang telah terbentuk selama belasan tahun di dalam diriku. Aku tetap tidak terima dengan keadaan keluargaku.

Masa-masa itu sangat tidak mudah, namun Allah memegang tanganku dengan sabar ketika aku sering memberontak kepada-Nya. Saat aku akhirnya kehabisan tenaga dan duduk merenungkan kehidupan keluargaku yang berantakan, aku tersadar bahwa situasi semacam itu sebenarnya tidak hanya dihadapi oleh keluargaku. Semua keluarga tidak luput dari masalah, entah itu keluarga teman-temanku, tetanggaku, orang-orang beragama atau tidak beragama, bahkan para hamba Tuhan yang melayani penuh waktu. Aku bukan satu-satunya orang yang bergumul, banyak orang di sekitarku yang juga menghadapi 'peperangan' serupa, bahkan tidak jarang situasi mereka lebih buruk dariku. Apa yang kualami selama ini sesungguhnya menunjukkan realitas dari dunia yang sudah dalam dosa.

Aku pun tersadar, bukan aku yang memilih untuk dilahirkan di keluarga mana, Allah sendirilah yang memilihkannya untukku. Lalu apakah itu artinya Dia tidak mengasihiku? Dia yang telah mengaruniakan Yesus, Anak-Nya yang tunggal, menyerahkan nyawa-Nya untuk menyelamatkan jiwaku, bagaimana mungkin Dia tidak mengasihiku? Dia adalah Bapa yang baik, dan tentulah Dia punya tujuan dengan menempatkanku, putri-Nya, di sini, meski tujuan itu belum seluruhnya kumengerti. Hal terbaik yang bisa kulakukan bagi diriku sendiri adalah menerima sepenuhnya keadaan diriku dan keluarga yang disediakan Allah bagiku.

Berdamai dengan diri sendiri membuka mata hatiku. Tidak banyak yang berubah dari keluargaku dalam sepuluh tahun ini, tetapi jelas aku melihat banyak perubahan terjadi dalam diriku sendiri. Allah telah menggunakan kondisi keluargaku untuk membentukku. Aku belajar mengendalikan emosiku dalam situasi-situasi yang menyulut kemarahan. Aku belajar mengampuni meski tidak ada jaminan aku tidak akan disakiti lagi. Aku belajar mengasihi mereka yang menurutku tidak layak dikasihi.

Allah tidak mengubah situasi hidupku untuk mengubah hatiku. Dia membiarkanku mengalami apa artinya putus asa supaya aku dapat melihat-Nya sebagai satu-satunya harapan dalam hidupku. Dia terlalu baik untuk merencanakan yang jahat, dan terlalu bijaksana untuk berbuat salah. Dalam luka, Dia menyediakan kesembuhan, dalam tangis, Dia menyediakan penghiburan (2 Korintus 1:3-4). Dalam segala sesuatu, Dia punya tujuan (Roma 8:28-29). Dalam segala perkara, Dia memberi kekuatan (Filipi 4:13).

0 komentar:

Posting Komentar