Santapan Rohani Hari Ini: Bergelung Bagai Kepompong!

Posted On // Leave a Comment

Santapan Rohani Hari Ini: Bergelung Bagai Kepompong!


Bergelung Bagai Kepompong!

Posted: 11 Dec 2014 09:00 AM PST

Jumat, 12 Desember 2014

Bergelung Bagai Kepompong!

Baca: Mazmur 91:9-16

91:9 Sebab TUHAN ialah tempat perlindunganmu, Yang Mahatinggi telah kaubuat tempat perteduhanmu,

91:10 malapetaka tidak akan menimpa kamu, dan tulah tidak akan mendekat kepada kemahmu;

91:11 sebab malaikat-malaikat-Nya akan diperintahkan-Nya kepadamu untuk menjaga engkau di segala jalanmu.

91:12 Mereka akan menatang engkau di atas tangannya, supaya kakimu jangan terantuk kepada batu.

91:13 Singa dan ular tedung akan kaulangkahi, engkau akan menginjak anak singa dan ular naga.

91:14 "Sungguh, hatinya melekat kepada-Ku, maka Aku akan meluputkannya, Aku akan membentenginya, sebab ia mengenal nama-Ku.

91:15 Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab, Aku akan menyertai dia dalam kesesakan, Aku akan meluputkannya dan memuliakannya.

91:16 Dengan panjang umur akan Kukenyangkan dia, dan akan Kuperlihatkan kepadanya keselamatan dari pada-Ku."

Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah, ya TUHAN, yang membiarkan aku diam dengan aman. —Mazmur 4:9

Bergelung Bagai Kepompong!

Saat saya masih kecil, keluarga kami tinggal di sebuah rumah yang dibangun oleh ayah saya di bagian barat dari kota Duncanville, Texas, Amerika Serikat. Rumah kami mempunyai sebuah dapur sekaligus ruang makan kecil, dua kamar tidur, dan satu ruangan luas dengan perapian batu yang besar tempat kami biasa membakar batang-batang kayu pohon aras sepanjang 60 cm. Perapian itu menjadi pusat kehangatan dalam rumah kami.

Ada lima orang anggota keluarga kami: ayah dan ibu saya, saudari saya, sepupu saya, dan saya. Karena hanya ada dua kamar tidur, saya selalu tidur di beranda dengan kelambu dari kain kanvas yang menjuntai hingga ke lantai. Di musim panas, itu sangat menyenangkan, tetapi di musim dingin sangatlah dingin.

Saya ingat saya sering berlari kencang dari hangatnya ruang keluarga kami menuju beranda itu, berjingkat-jingkat tanpa alas kaki di atas dinginnya lantai kayu yang membeku, lalu melompat ke atas tempat tidur dan menyusup dalam gundukan selimut. Ketika hujan es atau salju menghantam rumah kami dan angin bergemuruh kencang melalui kisi-kisi atap rumah, saya suka meringkuk untuk bersembunyi dalam selimut. “Aman bergelung bagai kepompong” begitu ibu saya biasa menyebutnya. Rasanya tidak ada yang lebih hangat dan aman seperti tempat itu.

Kini saya mengenal pemberi rasa aman yang terbesar, yakni Allah sendiri. Saya bisa “dengan tenteram . . . membaringkan diri, lalu segera tidur” (Mzm. 4:9), karena tahu Allah adalah perlindungan saya dari badai hidup yang menerjang. Dilingkupi kehangatan kasih-Nya, saya merasa nyaman dan “aman bergelung bagai kepompong”. —DHR

Sandar, sandar,
‘Ku aman tiada bahaya,
Sandar, sandar,
Sandar pada lengan yang kekal. —Hoffman
(Kidung Puji-Pujian Kristen, No. 221)

Tiada yang lebih merasa aman daripada mereka yang berada dalam tangan Tuhan.

Yesus Memegang Tanganku

Posted: 10 Dec 2014 11:30 PM PST

Oleh: Nofa Ahakhododo Bu’ulolo

Yes.41.13

"Hidup yang kini aku jalani adalah karunia pemberian Tuhan yang sangat aku syukuri.
Jikalau bukan karena pertolongan-Nya, aku mungkin tidak berada di sini dan melihat hari ini."

Tidak ada hal yang dapat dibanggakan dari hidupku. Meski aku berusaha selalu melakukan apa yang terbaik, di mata kedua orangtuaku dan keenam saudaraku, semua yang aku lakukan tidak pernah ada yang benar. Orangtuaku tak segan memukul bahkan mengutukku ketika aku tidak mematuhi aturan yang mereka buat. Aku tahu mereka memberi banyak aturan untuk mencegah aku salah pergaulan. Namun, kemarahan mereka sering diungkapkan dengan cara yang membuat aku merasa makin tidak berarti bagi mereka. Jika aku bertengkar dengan saudara-saudaraku, selalu aku yang disalahkan. Kakak-kakakku suka berkata, "Kamu bukan adik kandung kami! Kamu itu dijual ibu kandungmu karena keluargamu tidak punya nasi untuk makan." Sekalipun aku tahu mereka hanya bercanda, aku tetap sakit hati. Apalagi saat aku bertanya kepada mama, beliau dengan ringan menyahut, "Iya, kamu bukan anak kami, kamu anak yang ditemukan di bawah pohon pisang!" Ada masanya aku merasa tidak tahan dan ingin lari dari rumah. Semua pakaian sudah kukemas. Namun aku kemudian berpikir bahwa jika aku pergi dari rumah, aku tidak bisa melanjutkan sekolah. Akhirnya, aku tidak jadi pergi.

Beranjak remaja, aku berharap akan terjadi perubahan dalam hidupku. Sayangnya, itu tidak pernah terjadi. Malah, tekanan yang kuhadapi kian bertambah. Meski aku adalah seorang anak laki-laki, Tuhan memberiku talenta untuk memasak dan menari. Tak heran, yang lebih banyak dekat denganku adalah teman-teman perempuan. Dan hal itu sangat tidak disukai oleh keluargaku. Saat marah, papaku sering membentak, "Dasar anak lemah, bergaul sama perempuan melulu! Mau jadi apa kamu kalo besar nanti?" Ia lalu akan memaki dan memukulku. Herannya, jika kakakku melakukan kesalahan yang sama, papa hanya akan marah, namun tidak pernah memukul mereka. Sungguh, aku merasa tidak diterima dalam keluargaku.
Ketika pada satu titik, Tuhan mengizinkan keluargaku bangkrut, lagi-lagi aku berharap keadaan akan berubah dan papa bisa lebih mengontrol emosinya. Namun, ternyata situasinya makin parah. Sedikit kesalahan saja sudah cukup untuk membuat papa memarahi dan memakiku di depan umum. Pernah aku tidak tahan dan meninggalkannya. Begitu sampai di rumah, seperti dugaanku, amarah papa memuncak dan memukul aku dengan hebat. Tidak ada yang menolongku. Tak hanya papa, mama juga pernah memukulku hingga gigiku berdarah ketika aku bertengkar dengan kakakku. Hatiku sangat pedih, apalagi ketika esok harinya mama seakan tidak pernah ingat kejadian itu. Di sekolah, aku hanya bisa menangis di pelukan sahabatku. Berkali-kali rasanya aku ingin mengakhiri saja hidupku. Suatu tindakan yang bodoh, bukan? Tapi, ya itulah yang terjadi. Aku merasa dibully dan dianggap sebelah mata oleh keluargaku sendiri. Aku merasa hidupku hancur dan Tuhan tidak berpihak kepadaku.

Selepas SMA, aku tidak kuliah karena kurang biaya. Aku kemudian dikirim ke Padang, karena di sana ada kakak perempuan dan sepupuku. Betapa senangnya aku bisa keluar dari rumah. Namun, rupanya kesulitanku belum berhenti. Meski kakak perempuanku mencarikan pekerjaan buatku, ia sebenarnya tidak begitu senang dengan kehadiranku. Bicaranya kasar. Ketika aku mengalami kecelakaan sepulang kerja suatu hari, bukannya kasihan, ia malah berkata, "Kakak kan sudah bilang, merantau itu susah, sudah sana balik kampung!" Sekali lagi aku merasa tidak diterima oleh keluargaku sendiri.

Dalam masa-masa sulit itulah, Tuhan menjumpaiku. Sejak kecil aku sudah berstatus Kristen, namun hanya "Kristen KTP". Melalui sebuah gereja karismatik di kota Padang, aku didorong untuk datang kepada Tuhan melalui pujian penyembahan. Tiap kali mendapat perlakuan yang kasar dari kakakku, aku pun akan masuk kamar, menangis dan mencurahkan isi hatiku di hadapan Tuhan. "Aku hanya ingin bebas Tuhan, aku hanya ingin bebas!" jeritku suatu hari, merasa tidak tahan lagi dengan banyak larangan yang harus kupatuhi.

Hari terus berlalu. Mimpiku untuk kuliah, kerinduanku untuk diterima dalam keluargaku, rasanya masih terlalu jauh untuk diraih. Namun, kini aku memiliki penghiburan dari firman Tuhan. Ada banyak tangisan yang dicatat dalam Alkitab, termasuk tangisan dari raja besar seperti Daud, yang bahkan pernah mengeluh kepada Tuhan, "Aku telah menjadi orang luar bagi saudara-saudaraku, orang asing bagi anak-anak ibuku" (Mazmur 69:9). Demikian juga raja Hizkia yang menangis hebat karena sudah kehilangan harapan hidup. Tuhan tidak merendahkan mereka, tetapi berkata, "Telah Kudengar doamu dan telah Kulihat air matamu, …" (2 Raja-raja 20:3, 5). Aku tahu bahwa Tuhan yang mendengarkan tangis dan doa mereka juga adalah Tuhan yang mendengarkan tangis dan doaku. Orang mungkin menganggap pria yang menangis itu lemah dan memalukan. Namun, Tuhan tidak memandang kita demikian. Ketika kita menangis di hadapan Tuhan, kita sedang mengakui bahwa kita lemah dan Dia kuat.

Lebih dari sekadar memperhatikan, Tuhan sendiri datang ke dalam dunia dalam pribadi Yesus Kristus, menjadi manusia yang sama seperti kita, merasakan penolakan orang, meneteskan air mata, diejek, dipukuli, bahkan disiksa hingga mati di kayu salib. Dia menanggung semua itu untuk memberitahu kita betapa Bapa di surga menyayangi kita. Sekalipun masa lalu kita kelam, banyak kesalahan yang telah kita perbuat, Tuhan mau mengampuni dan menerima kita apa adanya.

Karena kasih-Nya juga, Tuhan tidak membiarkan kita hidup seadanya. Dengan Firman Tuhan, hidupku berangsur-angsur diperbarui. Hari demi hari Yesus memegang tanganku dan menuntun langkahku. Ketika aku percaya kepada Yesus, hidupku yang lama telah ikut mati di atas salib. Kepahitanku, kemarahanku, kekecewaanku, rasa ingin berontakku. Sebagai gantinya, Tuhan memberiku hidup yang baru dalam Kristus yang sudah bangkit! Pikiranku, perasaanku, perbuatanku, kini terus dibentuk oleh-Nya.

Aku tidak tahu apa yang dialami teman-teman. Tapi jika kamu mengalami hal yang sama, semoga ceritaku bisa menguatkan kamu. Tangan Tuhan selalu terbuka untuk menerimamu, sekalipun orang-orang yang kamu sayangi sepertinya tidak menginginkanmu. Datanglah mencurahkan isi hatimu kepada-Nya!

0 komentar:

Posting Komentar