Santapan Rohani Hari Ini: Kibarkan Bendera |
Posted: 06 Oct 2014 10:00 AM PDT Selasa, 7 Oktober 2014 Baca: Efesus 5:1-13 5:1 Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih. —Efesus 5:1 Ratu Elizabeth II telah memerintah atas Kerajaan Inggris selama lebih dari 60 tahun. Kesan anggun dan berkelas telah menjadi ciri dari monarki yang dipimpinnya. Sepanjang hidupnya, sang ratu telah memberikan diri untuk melayani rakyatnya dengan giat, dan oleh karena itu, ia begitu dicintai dan dihormati oleh rakyatnya. Jadi, kamu dapat mengerti pentingnya bendera yang berkibar di atas Istana Buckingham. Berkibarnya bendera itu menandakan bahwa sang ratu sedang berada di dalam kediamannya di jantung kota London. Bendera itu menjadi suatu pernyataan bagi khalayak umum tentang kehadiran sang ratu di tengah-tengah rakyatnya. Ketika sedang memikirkan hal tersebut, saya teringat bahwa Yesus, Raja kita, telah berdiam di dalam hati kita sebagai Penguasa yang “tidak akan membiarkan engkau dan . . . tidak akan meninggalkan engkau” (Ibr. 13:5). Meskipun bagi diri kita sendiri hal itu sungguh mengagumkan, saya bertanya-tanya apakah orang-orang di sekitar kita akan mengetahui bahwa Yesus berdiam dalam diri kita lewat cara hidup kita? Jika Dia berdiam dalam kita, kehadiran-Nya akan terlihat dari sikap kita. Menurut Rasul Paulus, kita harus menjadi “penurut-penurut Allah” dan hidup “di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi [kita]” (Ef. 5:1-2). Ketika kita melakukannya, kita akan memperlihatkan sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Gal. 5:22-23). Jadi marilah kita kibarkan bendera tanda kehadiran-Nya—bendera yang menyatakan anugerah, kebenaran, dan kasih-Nya—agar banyak orang dapat melihat diri-Nya melalui hidup kita. —JMS Tuhan, ingatkan aku bahwa kehadiran-Mu di dalam hatiku Kibarkan bendera kehadiran Kristus untuk menyatakan bahwa Sang Raja memang berdiam dalam hidupmu. |
Posted: 06 Oct 2014 01:00 AM PDT Oleh: Benedict Dengarkanlah doaku, ya TUHAN, Seperti Daud, kerap kita bisa merasa bingung dan serba tidak pasti dalam perjalanan rohani kita. Di satu sisi, kita merasa Tuhan begitu jauh; namun di sisi lain, kita juga tahu bahwa Tuhan begitu dekat mengawasi hidup kita, dan tidak ada hal yang bisa kita sembunyikan dari pandangan-Nya. Mengapa kita bisa merasa Tuhan yang Mahakasih itu begitu jauh dari kita? Apakah itu karena Tuhan sendiri memang sengaja menjauhkan diri dari kita? Ketika kita menyelidiki hati kita, lebih sering kita akan mendapati bahwa perasaan ini muncul bukan karena Tuhan benar-benar jauh, tetapi karena kita tidak memahami jalan-jalan-Nya. Apa yang kita mengerti tidak cukup untuk membuat kita merasa tenang. Tuhan itu Immanuel, Dia selalu beserta kita, namun Dia bukan Tuhan yang berpikiran terbatas seperti kita. Jalan-jalan-Nya tak terselami. Jika kita bisa memahami sebagian dari jalan-Nya, itu hanya karena kasih karunia-Nya. Di sisi lain, ketika Tuhan mendisiplin kita, kita akan lebih suka jika Dia "mengalihkan pandangan-Nya" dari kita seperti kata pemazmur (39:14). Kita tidak merasa nyaman saat Tuhan mengawasi seluruh bagian hidup kita dari dekat. Kita tidak ingin berubah, karena berubah itu tidak mudah. Kita lebih suka tetap berada dalam zona nyaman kita karena proses "pengudusan" oleh Tuhan itu meliputi hal-hal yang tidak menyenangkan. Ada masanya pertanyaan "Mengapa?" mendominasi percakapanku pribadi dengan Allah. Aku merasa bahwa Allah seharusnya segera menjawab dan mengubah situasi di sekitarku, namun Dia diam membisu, seolah tidak peduli dengan berbagai pencobaan dan kesulitan yang Dia izinkan terjadi dalam hidupku. Aku merasakan "pandangan"-Nya yang tajam kadang seolah membakarku (Alkitab menggambarkan Allah sebagai api yang memurnikan logam mulia). Bagaimana mengatasi perasaan-perasaan semacam ini? Aku menemukan jawabannya saat membaca Mazmur Daud ini. Perhatikanlah ayat ke-8. Daud bertanya, "Dan sekarang, apakah yang kunanti-nantikan, ya Tuhan?" Ia lalu menjawab, "Kepada-Mulah aku berharap". Kita bertanya "Mengapa?" karena kita merasa begitu khawatir dan bahkan putus asa dengan situasi kita. Kita bertanya-tanya apakah tujuan Allah yang baik dalam hidup kita bisa digenapi dengan adanya situasi-situasi tersebut. Alkitab meyakinkan kita bahwa pada saat kita tidak dapat memahami secara penuh kehendak Allah yang baik itu, kita dapat tetap berharap kepada-Nya. Kita dapat mengharapkan hal-hal yang baik dari-Nya. Sebab, Allah itu baik. Dia tidak pernah mengecewakan. diterjemahkan dari artikel ymiblogging: Why, Lord? |
You are subscribed to email updates from WarungSateKaMu.org To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
0 komentar:
Posting Komentar