Santapan Rohani Hari Ini: Menanti . . .

Posted On // Leave a Comment

Santapan Rohani Hari Ini: Menanti . . .


Menanti . . .

Posted: 27 Mar 2014 10:00 AM PDT

Jumat, 28 Maret 2014

Menanti . . .

Baca: Mazmur 130

130:1 Nyanyian ziarah. Dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya TUHAN!

130:2 Tuhan, dengarkanlah suaraku! Biarlah telinga-Mu menaruh perhatian kepada suara permohonanku.

130:3 Jika Engkau, ya TUHAN, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat tahan?

130:4 Tetapi pada-Mu ada pengampunan, supaya Engkau ditakuti orang.

130:5 Aku menanti-nantikan TUHAN, jiwaku menanti-nanti, dan aku mengharapkan firman-Nya.

130:6 Jiwaku mengharapkan Tuhan lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi, lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi.

130:7 Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel! Sebab pada TUHAN ada kasih setia, dan Ia banyak kali mengadakan pembebasan.

130:8 Dialah yang akan membebaskan Israel dari segala kesalahannya.

Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa! —Roma 12:12

Menanti . . .

Selama bertahun-tahun, hari demi hari, Harry mencurahkan beban hatinya kepada Tuhan tentang John, menantunya, yang telah meninggalkan Allah. Namun suatu hari, Harry meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian, John pun bertobat dan kembali percaya kepada Allah. Ketika ibu mertuanya, Marsha, memberitahukan kepada John bahwa Harry telah berdoa baginya setiap hari, John menjawab, "Aku telah menunda terlalu lama." Namun Marsha dengan penuh sukacita mengatakan kepada John: "Tuhan masih menjawab doa-doa yang dipanjatkan Harry semasa hidupnya."

Kisah Harry dan doa-doanya menjadi suatu dorongan bagi kita yang sedang berdoa dan menanti. Harry tetap "[bertekun] dalam doa" dan menanti dengan sabar (Rm. 12:12).

Penulis dari Mazmur 130 mengalami penantian akan jawaban dari doanya. Ia berkata, "Aku menanti-nantikan TUHAN, jiwaku menanti-nanti" (ay.5). Ia menemukan pengharapan dalam Allah karena percaya bahwa "pada TUHAN ada kasih setia, dan Ia banyak kali mengadakan pembebasan" (ay.7).

Penulis Samuel Enyia menulis demikian tentang waktunya Allah: "Allah tidak bergantung pada waktu yang kita jalani. Waktu yang kita jalani bersifat kronologis dan linear, tetapi Allah . . . tidak dibatasi oleh waktu. Dia akan bertindak tepat pada waktu-Nya. Doa kita . . . mungkin tidak mendesak Allah untuk segera bertindak, tetapi. . . akan menempatkan kita di hadapan-Nya dalam persekutuan dengan-Nya."

Alangkah istimewanya kita dapat bersekutu dengan Allah dalam doa dan dalam menantikan jawaban doa itu digenapi Allah pada waktu-Nya. —AMC

Berdoalah! Berdoalah! Jangan lelah berdoa,
Dan jika jawabannya tak kaulihat, menantilah;
Allahmu akan datang, Dia pasti datang,
Dia takkan pernah datang terlambat. —Chisholm

Allah mungkin menunda jawaban atas permohonan kita, tetapi Dia tak pernah mengecewakan kepercayaan kita.

Berbagi Kasih, Bukan Sampah

Posted: 27 Mar 2014 01:00 AM PDT

Oleh: Melody Tjan

rotten fruit

Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia. —Efesus 4:29

Tiap kali aku membaca ayat ini, aku tidak pernah menganggapnya sebagai bagian Firman Tuhan yang ditujukan kepadaku. Perkataan kotor dalam pengertianku selama ini adalah caci maki dan kata-kata yang jorok. Aku sendiri anti dengan kata-kata semacam itu. Dalam bayanganku, ayat ini cocok untuk beberapa orang yang kukenal. Mereka yang kasar nada bicaranya. Yang suka menyebut orang dengan nama-nama penghuni kebun binatang. Yang suka bully orang. Yang bahasanya vulgar. Tetapi tidak untuk aku.

Namun, suatu hari aku membaca terjemahan ayat ini dalam bahasa lain. Kata "kotor" juga diterjemahkan sebagai "rotten" yang mengingatkanku pada telur busuk atau buah yang sudah seharusnya dibuang di tempat sampah. Terjemahan lainnya adalah "corrupt" alias rusak atau jahat. Atau "unwholesome" yang biasanya menggambarkan sesuatu yang tidak sehat. Penasaran, aku pun mencari bahasa aslinya di website SABDA. Kata "kotor" itu rupanya adalah terjemahan dari kata Yunani: Sapros. Artinya: "jelek", "busuk", "tidak berharga", "tidak baik", "jahat" atau "berbahaya". Wah, itu memperluas pengertianku tentang apa yang disebut sebagai "perkataan kotor" dalam ayat ini. Bukan cuma makian dan kata-kata jorok, semua ucapan yang jelek, tidak enak, enggak bermanfaat, tidak dilandasi itikad baik, semua rupanya termasuk di sini.

Tuhan Yesus juga menggunakan istilah sapros ketika berbicara tentang tidak ada pohon baik yang menghasilkan buah tidak baik (Lukas 6:43; Matius 7:17; 12:33). Ketika kita melihat buah yang jelek, asam, atau berulat, sudah tentu kita menduga ada masalah dengan pohonnya. Buah hanyalah hasil yang kelihatan. Masalah ada pada sumber, atau pohonnya. Demikian pula dengan perkataan. Baik tidaknya perkataan kita keluar dari baik tidaknya kondisi hati kita. Bayangin betapa berbedanya kata-kata yang akan terdengar dari orang yang hatinya sedang hancur lebur dibanding dengan yang hatinya sedang berbunga-bunga. Dari orang yang hatinya penuh dengki dibanding dengan yang hatinya penuh welas asih. Dari orang yang hatinya hampa dibanding dengan yang hatinya penuh damai dan sukacita.

Well, menariknya, Efesus 4:29 tidak berhenti dengan sebuah peringatan untuk menghindari perkataan sampah. Sebagai orang yang sudah diperbarui hidupnya dalam Kristus (ayat 20-24), kita diingatkan untuk secara aktif menggunakan kata-kata yang membangun, kata-kata yang menunjukkan kasih kepada orang yang mendengarnya. Kata-kata yang lahir dari perubahan hati setelah mengenal dan mengecap kasih Kristus.

Aku mulai banyak merenungkan kembali bagaimana aku berkata-kata tiap hari. Memang aku tidak memaki orang atau bercanda dengan kata-kata yang jorok. Tapi, aku tidak bisa mengatakan bahwa semua kata-kataku selalu baik apalagi membangun orang-orang di sekitarku. Tak jarang aku bahkan menyesali apa yang terlanjur kuucapkan, apalagi di saat aku sedang bete, atau menghadapi orang-orang yang bikin bete. Aku kerap terburu-buru bicara tanpa lebih dulu memikirkan dampak kata-kataku kepada orang lain. Entahkah itu menunjukkan kasih atau tidak, aku sering tak peduli. Yang penting aku puas bisa mengekspresikan apa yang ingin aku sampaikan. Adakalanya aku dengan sengaja menyerang orang lewat kata-kata. Adakalanya pula aku ikut bersemangat membicarakan keburukan orang. Kesibukan sering membuat kata-kata simpatiku hanya sebatas basa-basi, tidak benar-benar berangkat dari hati. Mencela orang rasanya lebih mudah daripada menyemangati mereka untuk menjadi lebih baik. Ah, mengapa aku malah menganggap ayat ini hanya cocok untuk orang lain? Tutur kataku setiap hari menunjukkan berapa banyak sampah dan berapa banyak kasih yang siap kubagikan dari hatiku.

Bagaimana dengan tutur katamu?

0 komentar:

Posting Komentar