Santapan Rohani Hari Ini: Sisi Positif Suatu Kemunduran

Posted On // Leave a Comment

Santapan Rohani Hari Ini: Sisi Positif Suatu Kemunduran


Sisi Positif Suatu Kemunduran

Posted: 23 Sep 2015 10:00 AM PDT

Kamis, 24 September 2015

Sisi Positif Suatu Kemunduran

Baca: Mazmur 27

27:1 Dari Daud. TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? TUHAN adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar?

27:2 Ketika penjahat-penjahat menyerang aku untuk memakan dagingku, yakni semua lawanku dan musuhku, mereka sendirilah yang tergelincir dan jatuh.

27:3 Sekalipun tentara berkemah mengepung aku, tidak takut hatiku; sekalipun timbul peperangan melawan aku, dalam hal itupun aku tetap percaya.

27:4 Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya.

27:5 Sebab Ia melindungi aku dalam pondok-Nya pada waktu bahaya; Ia menyembunyikan aku dalam persembunyian di kemah-Nya, Ia mengangkat aku ke atas gunung batu.

27:6 Maka sekarang tegaklah kepalaku, mengatasi musuhku sekeliling aku; dalam kemah-Nya aku mau mempersembahkan korban dengan sorak-sorai; aku mau menyanyi dan bermazmur bagi TUHAN.

27:7 Dengarlah, TUHAN, seruan yang kusampaikan, kasihanilah aku dan jawablah aku!

27:8 Hatiku mengikuti firman-Mu: “Carilah wajah-Ku”; maka wajah-Mu kucari, ya TUHAN.

27:9 Janganlah menyembunyikan wajah-Mu kepadaku, janganlah menolak hamba-Mu ini dengan murka; Engkaulah pertolonganku, janganlah membuang aku dan janganlah meninggalkan aku, ya Allah penyelamatku!

27:10 Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku.

27:11 Tunjukkanlah jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, dan tuntunlah aku di jalan yang rata oleh sebab seteruku.

27:12 Janganlah menyerahkan aku kepada nafsu lawanku, sebab telah bangkit menyerang aku saksi-saksi dusta, dan orang-orang yang bernafaskan kelaliman.

27:13 Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup!

27:14 Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!

Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN! —Mazmur 27:14

Sisi Positif Suatu Kemunduran

Perenang Amerika Serikat Dara Torres memiliki karier yang menakjubkan. Ia tercatat pernah berlomba dalam lima Olimpiade dari tahun 1984 hingga 2008. Di penghujung kariernya, Torres berhasil memecahkan rekor nasional untuk gaya bebas 50 meter—rekor yang pernah dibuatnya sendiri 25 tahun sebelumnya. Namun Torres tidak selalu berhasil. Ia pernah juga menemui hambatan dalam karier atletiknya: cedera, operasi, dan usia yang hampir dua kali lebih tua dari kebanyakan pesaingnya. Torres berkata, “Saya selalu ingin menang dalam segala hal, setiap hari, sejak saya kecil. . . . Saya juga sadar ternyata suatu kemunduran mempunyai sisi positif, karena kegagalan justru memacu saya mengejar impian-impian baru.”

“Suatu kemunduran mempunyai sisi positif” adalah pelajaran hidup yang sangat baik. Perjuangan Torres mendorongnya untuk meraih prestasi baru. Pencobaan juga memiliki manfaat rohani. Yakobus berkata, “Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan” (YAK. 1:2-3).

Memang tidak mudah untuk melihat kesulitan hidup dari sudut pandang tersebut, tetapi kita juga yang akan menikmati buahnya. Pencobaan memberikan kesempatan untuk memperdalam hubungan kita dengan Allah. Pencobaan juga menjadi jalan bagi kita untuk menerima pelajaran yang tidak dapat diajarkan oleh keberhasilan, yaitu terbentuknya kesabaran dalam diri kita untuk menantikan Allah dan percaya bahwa Dia akan memberi kita kekuatan untuk bertahan.

Pemazmur mengingatkan kita, “Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!” (Mzm. 27:14). —Bill Crowder

Ya Tuhan, saat aku dicobai, ajarku untuk menantikan-Mu. Namun lebih dari itu, ajarku untuk makin mempercayai kasih-Mu kepadaku. Dan saat aku melakukannya, ajarkanlah hikmat-Mu dan kesabaran untuk bertahan.

Kemunduran hidup dapat mengajar kita untuk menantikan pertolongan dan kekuatan Tuhan.

Bacaan Alkitab Setahun: Kidung Agung 4-5; Galatia 3

Photo credit: vironevaeh / Foter / CC BY-SA

Ketika Membagikan Iman Dianggap Sesuatu yang Aneh

Posted: 23 Sep 2015 02:00 AM PDT

Penulis: Daniel Gordon Ang
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: When It Is Frowned Upon To Share Your Faith

When-it-is-frowned-upon-to-share-your-faith

Salah satu kenangan yang paling kuingat dari masa-masa kuliah di Amerika adalah kebiasaanku setiap Minggu pagi. Jam 7 aku sudah bangun dan siap-siap ke gereja untuk mengikuti gladi resik bersama tim musik (aku bermain cello) sebelum kebaktian pertama dimulai. Gereja kami diberkati dengan sejumlah musisi berbakat dan seorang music director yang sangat rajin. Ia banyak membuat aransemen himne dan musik klasik yang indah untuk mengiringi kebaktian. Musik yang merdu serta khotbah pendeta kami yang tegas menegur sekaligus menginspirasi, selalu membuat hatiku penuh dengan perasaan hangat dan terharu ketika kebaktian selesai. Rasanya aku telah mendapatkan kekristenan yang cukup untuk minggu itu.

Namun, seluruh perasaan dan suasana itu akan berubah secara drastis saat aku kembali ke kampus untuk sarapan. Di ruang makan kampus yang besar, aku akan menjumpai teman-teman kuliah yang kebanyakan baru saja bangun. Sebagian besar masih mengenakan piyama; sebagian lagi masih memakai baju pesta, kelihatan teler sehabis berpesta-pora pada malam sebelummya. Pernah seorang teman bertanya mengapa pagi-pagi aku sudah memakai pakaian yang rapi. Aku menjawab bahwa aku baru saja pulang dari kebaktian di gereja. Ia mengernyitkan dahinya, "Gereja? Kamu pergi ke gereja?"

Ia tampak keheranan—ekspresinya tidak menunjukkan kebencian atau rasa tidak senang; ia hanya tidak habis mengerti. Di kampusku, "hari Minggu" jelas tidak lagi pernah dikaitkan dengan "gereja". Aku merasa seperti baru saja melangkah keluar dari komunitas orang kudus di gerejaku, memasuki sebuah komunitas duniawi, di mana tidak ada orang yang berbicara mengenai Alkitab, Tuhan, atau kehidupan setelah kematian.

Begitulah suasana tempat aku menjalani studi saat itu, sebuah kampus elit di timur laut Amerika Serikat. Orang tidak terang-terangan menunjukkan kebencian terhadap agama, tetapi jelas itu adalah topik yang tabu untuk dibicarakan. Pada umumnya, orang akan mengambil sikap "jangan bertanya, jangan memberitahu" (Don’t ask, don’t tell). Suasana ini begitu menggerahkan sampai-sampai seorang temanku menelitinya untuk tugas skripsi. Ia mewawancarai berbagai macam orang tentang pengalaman mereka di kampus terkait iman pribadi mereka. Salah satu orang yang diwawancarai menceritakan bagaimana ia, saat belum mengerti adat istiadat di kampus itu, sempat melakukan kesalahan fatal dengan membagikan kesaksian tentang apa yang ia yakini sebagai seorang Katolik, berikut peran keyakinan itu dalam hidupnya. Semua orang yang mendengarnya diam membisu sembari melempar tatapan jengah.

Mengenang kembali masa-masa tersebut, aku teringat akan kisah Daniel dalam Alkitab. Sebagai seorang pemuda, ia diambil secara paksa dari keluarga dan bangsanya dan dibawa ke Babel. Di sana ia dididik dalam kebudayaan dan kesusasteraan Babel, agar dapat bekerja untuk raja Babel (Daniel 1). Di tengah lingkungan asing ini, Daniel berani mempertahankan iman serta menaati apa telah diperintahkan Allah kepada orang Israel turun-temurun. Ia menolak menyantap makanan-makanan Babel yang haram, dan lebih memilih mengonsumsi sayur-sayuran dan air. Ia terus berdoa kepada Allah tiga kali sehari, walaupun ada aturan resmi kerajaan yang melarangnya (Daniel 6:10). Untuk itu ia dimasukkan ke dalam gua singa, tetapi Allah menyelamatkannya dari kematian.

Pengalamanku sendiri tidak sedramatis apa yang dialami Daniel dalam Alkitab, tetapi mirip dalam beberapa hal. Sebelum pergi bersekolah ke Amerika, aku menghabiskan kebanyakan waktuku dalam lingkungan Kristen: belajar di sekolah Kristen dan memiliki teman-teman yang hampir semuanya berasal dari keluarga Kristen. Dalam lingkungan yang demikian, setiap hari aku diingatkan akan Allah. Tetapi di sisi lain, aku tidak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang istimewa. Semua orang berbicara dalam "bahasa Kristen"—selalu memuji Tuhan dan berbicara tentang apa yang mereka pikir merupakan kehendak-Nya dalam hidup mereka. Sebagai sesama orang Kristen, aku pun menjadi sangat terbiasa dengan hal itu. Berbicara tentang Tuhan bahkan bisa menjadi cara cepat untuk bisa disenangi oleh orang tua dan guru-guru.

Begitu masuk ke kampus, ceritanya sama sekali berbeda. Mengatakan bahwa tadi kita "pergi ke gereja" adalah sesuatu yang tidak lazim. Memang ada kelas-kelas untuk mempelajari agama, tetapi kita akan dianggap aneh kalau sampai menceritakan pengalaman pribadi kita yang berhubungan dengan agama. Meski ada segelintir orang yang mencela agama secara terbuka, kebanyakan orang sebenarnya tidak peduli dengan hal-hal rohani sama sekali. Mereka hanya berpikir tentang hal-hal yang sifatnya materi—cara pandang mereka bisa dibilang cenderung skeptis (agnostik) dan realistis.

Sebenarnya ada persekutuan Kristen yang kuat di kampus kami. Kadang aku menghadiri pertemuannya, dan terkejut melihat beberapa teman—aku tidak tahu bahwa mereka ternyata orang Kristen juga—hadir di sana. Sekian lama kami berteman, banyak hal yang pastinya sudah kami bicarakan, tetapi kami tidak pernah bicara tentang iman kami masing-masing. Kami semua seperti orang-orang Kristen yang tersembunyi.

Menghadapi situasi semacam ini, aku memperhatikan sebagian orang Kristen akhirnya hanya bergaul dengan sesama orang Kristen saja. Meski bisa dimengerti mengapa mereka bersikap demikian, menurutku itu bukan sikap yang benar. Aku sendiri tetap berusaha berteman dengan siapa saja, apa pun yang menjadi latar belakang kepercayaan mereka. Keterbukaan itu membawaku ke dalam suatu percakapan yang sangat membekas dalam ingatan, sebuah percakapan yang terjadi di ruang makan kampus.

Hari itu aku sedang makan malam bersama sekelompok teman dari jurusan fisika dan matematika. Kami biasanya berbicara tentang soal-soal fisika yang sulit, atau topik-topik dalam sains secara umum. Namun kali ini, entah bagaimana pembicaraan kami menyentuh topik tentang Tuhan. Salah satu teman berkata, "Siapa sih yang masih percaya Tuhan hari-hari begini?" Ia menggelengkan kepala.

Hingga hari itu, aku sangat jarang membicarakan tentang kepercayaanku, tetapi aku berketetapan hati bahwa jika suatu hari ada kesempatan untuk menyatakan imanku, aku tidak akan menyembunyikan fakta bahwa aku orang Kristen. Aku selalu ingat perkataan Yesus dalam Injil Matius: "Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga." (Matius 10:32-33)

Jadi aku menjawab, "Aku percaya Tuhan. Aku seorang Kristen."

Temanku tampak kaget. "Serius? Kok bisa? Bagaimana ceritanya?"

Aku mulai menjelaskan keyakinanku. Sebagai seseorang yang suka membaca tentang apologetika—buku-buku favoritku adalah karangan para filsuf dan teolog Kristen seperti William Lane Craig, Alister McGrath, dan Alvin Plantinga—aku sangat senang mendapatkan kesempatan emas untuk bisa mempraktikkan pengetahuanku, apalagi dalam konteks pembicaraan sains. Aku menjelaskan dan memberikan sejumlah argumen mengapa aku percaya kepada Tuhan. Tujuanku pada saat itu sederhana saja. Aku tidak bermaksud "memberitakan Injil", tetapi aku ingin menunjukkan kepada mereka bahwa sebenarnya ada mahasiswa-mahasiswa "normal" yang sungguh-sungguh percaya Tuhan.

Aku melihat teman-teman agnostik itu bereaksi tak percaya. Selama ini, mereka mengenalku sebagai sesama mahasiswa fisika dan matematika yang cukup pintar, dan bukan salah satu dari kumpulan "orang religius yang aneh".

Pembicaraan itu berlangsung lebih dari satu jam. Kami terpaksa harus berhenti karena ruang makan sudah mau tutup. Rasanya seperti mengalami sebuah momen "gua singa" dalam skala kecil. Aku adalah satu-satunya orang Kristen di meja itu, menjawab serangan dari segala arah terhadap argumen yang kuberikan. Meskipun tidak ada yang sepenuhnya setuju dengan jawabanku, tidak ada juga yang dapat membantah perkataanku. Aku merasa senang dapat "siap sedia pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dariku tentang pengharapan yang ada padaku" (Lihat 1 Petrus 3:15).

Setelah lulus, aku dan teman-temanku pun berpisah mengambil jalan kami masing-masing. Aku masih berharap bahwa mereka pada akhirnya akan menemukan Allah, atau setidaknya tergerak untuk memikirkan lebih jauh apa yang pernah kami bicarakan malam itu. Yang lebih penting, aku harap pembicaraan yang hanya sebentar itu dapat memecah kebekuan rohani di kampusku. Aku bersyukur Tuhan telah memberiku keberanian untuk teguh dalam iman, dan bahkan menyatakannya di muka umum.

Melihat ke belakang, aku menyadari bahwa momen-momen kecil seperti ini sangat berperan dalam menguatkan imanku. Dalam lingkungan yang begitu sekuler, setiap hal sederhana yang kulakukan, bahkan yang sepertinya tidak berhubungan dengan kekristenan, mengingatkan aku kembali akan apa yang kupercayai. Menghadiri kebaktian di gereja setiap hari Minggu bukan lagi sekadar rutinitas, tetapi telah menjadi tempat kerohanianku diperbarui setiap minggu. Hal-hal kecil seperti tidak malu berdoa sebelum makan di tempat umum, kini menjadi sesuatu yang kuanggap penting.

Pada akhirnya, Daniel ini berhasil bertahan melewati kuliahnya, sama seperti Daniel dalam Alkitab yang berhasil bertahan melewati hari-harinya di Babel. Adakalanya aku merasa aku seharusnya lebih berani lagi menyatakan imanku, namun aku tahu bahwa aku telah mengatasi pengalaman pertamaku hidup di lingkungan yang sekuler dengan baik, dan aku berdoa supaya Tuhan terus memberiku kekuatan untuk meneguhkan imanku di mana pun Dia menempatkanku kelak.

 
Untuk direnungkan lebih lanjut
Dari sekian jumlah teman yang kamu miliki, berapa banyak yang kepercayaannya berbeda denganmu? Pernahkah kamu dan temanmu bertukar pikiran tentang iman masing-masing? Hal menarik apa yang kamu ingat dari percakapan kalian?

0 komentar:

Posting Komentar