Santapan Rohani Hari Ini: Proyek Babel |
- Proyek Babel
- Ketika Aku Mencari Tahu Bobot Segumpal Awan
- Sharing: Kita Bebas Memilih Cara Hidup Selama Tidak Merugikan Orang Lain, Setuju?
Posted: 01 Sep 2015 10:00 AM PDT Rabu, 2 September 2015 Baca: Kejadian 11:1-911:1 Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya. 11:2 Maka berangkatlah mereka ke sebelah timur dan menjumpai tanah datar di tanah Sinear, lalu menetaplah mereka di sana. 11:3 Mereka berkata seorang kepada yang lain: “Marilah kita membuat batu bata dan membakarnya baik-baik.” Lalu bata itulah dipakai mereka sebagai batu dan ter gala-gala sebagai tanah liat. 11:4 Juga kata mereka: “Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.” 11:5 Lalu turunlah TUHAN untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu, 11:6 dan Ia berfirman: “Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apapun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. 11:7 Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing.” 11:8 Demikianlah mereka diserakkan TUHAN dari situ ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu. 11:9 Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi. Dikutip dari Alkitab Terjemahan Baru Indonesia (c) LAI 1974 Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya. —Mazmur 127:1 Dua tukang ditanya tentang apa yang sedang mereka bangun. Yang seorang menjawab bahwa ia sedang membangun sebuah garasi. Yang satu lagi mengatakan bahwa ia sedang membangun sebuah istana. Keesokan harinya, tinggal satu tukang yang sedang bekerja menyusun batu bata di sana. Ketika ditanya di manakah tukang satunya lagi, ia menjawab, “Oh, ia dipecat. Ia bersikeras membangun istana dan bukan garasi.” Hal serupa terjadi di masa lampau dalam pembangunan menara di Babel. Sekelompok orang memutuskan untuk membangun sebuah kota dengan menara yang puncaknya sampai ke langit dan menyatukan mereka semua (Kej. 11:4). Namun Allah tidak menghendaki mereka mengerjakan suatu rencana yang besar dan egois karena mereka berniat untuk menyejajarkan diri mereka dengan Allah dan memecahkan semua masalah mereka sendiri. Jadi Allah turun menghentikan proyek tersebut, menyerakkan orang “ke seluruh bumi” dan memberi mereka bahasa yang berbeda-beda (ay. 8-9). Allah menghendaki manusia melihat-Nya sebagai jalan keluar bagi masalah mereka, dan Dia menunjukkan rencana-Nya atas mereka kepada Abraham (12:1-3). Melalui iman Abraham dan keturunannya, Dia hendak menunjukkan pada dunia suatu jalan menuju sebuah kota “yang direncanakan dan dibangun oleh Allah” (Ibr. 11:8-10). Iman kita tidak berakar dari segala impian dan solusi kita sendiri. Iman kita didasarkan pada Allah semata-mata dan pada apa yang dapat Dia kerjakan di dalam dan melalui diri kita. —Mart DeHaan Bapa Surgawi, ampunilah aku karena sering memusatkan perhatian pada berbagai rencana dan impianku sendiri. Tolonglah aku untuk mencari tuntunan-Mu dalam segala hal yang kulakukan. Allah rindu menggenapi kehendak-Nya demi dan di dalam diri kita. Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 137-139 dan 1 Korintus 13 |
Ketika Aku Mencari Tahu Bobot Segumpal Awan Posted: 01 Sep 2015 02:00 AM PDT Oleh: Renny Acheampong, Denmark Pernahkah kamu bertanya, berapa sebenarnya bobot segumpal awan? Aku sadar, pertanyaan ini agak aneh, tetapi itulah yang melintas di pikiranku pada suatu hari Minggu, ketika aku sedang menikmati pemandangan favoritku dari balik jendela di samping tempat tidurku—langit biru yang dihiasi awan-awan putih yang bergumpal seperti kapas. Cahaya matahari yang menembus celah-celah awan membuat pemandangan itu menjadi sangat indah, begitu tenang dan damai. Sembari menikmatinya, aku mendengar Tuhan bertanya dalam hatiku, "Tahukah kamu berapa bobot segumpal awan itu?" "Tuhan, aku tidak tahu jawabannya," kataku. "Tuhan sendiri yang tahu." Aku lalu mengambil ponselku dan mencari informasi tentang berat segumpal awan. Fakta yang kutemukan sangat mencengangkan. Menurut seorang Peggy LeMone – National Center for Atmospheric Research National Center for Atmospheric Research di Amerika, bobot segumpal awan umumnya adalah sekitar 500 ton—atau setara dengan bobot 100 ekor gajah! "Wow," aku terkagum-kagum. Penemuan itu segera mengingatkanku pada apa yang tertulis dalam Kolose 1:16-17, "…di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia." Sungguh sebuah fenomena yang luar biasa: jutaan "gajah" melayang di angkasa, diciptakan dan ditopang oleh Allah sendiri! Merenungkan hal ini, sebuah suara berbisik lembut di hatiku, "Jika Aku sanggup mengendalikan 'gajah' sebanyak itu di langit, bukankah Aku juga sanggup memegang kendali atas hidupmu?" Aku tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi dalam hidupmu, atau sebanyak apa derita yang mungkin sedang kamu rasakan, namun semoga kebenaran ini dapat menghibur dan menguatkanmu: Tuhan Yesus mengetahui semua kebutuhanmu, dan Dia mau kamu percaya bahwa Dia sanggup mengendalikan semua 'gajah' dalam hidupmu". Jika kamu belum percaya kepada Yesus, izinkan aku mendorongmu untuk meletakkan pengharapanmu kepada-Nya. Jika kamu sudah menjadi pengikut-Nya, ingatlah kembali bagaimana Dia berulang kali telah menyatakan pertolongan-Nya bagimu. Bersyukurlah, dan bersemangatlah kembali menjalani hidup. |
Sharing: Kita Bebas Memilih Cara Hidup Selama Tidak Merugikan Orang Lain, Setuju? Posted: 31 Aug 2015 10:00 AM PDT “Ben, kamu perhatikan si Fian gak belakangan ini. Dia makin sering bolos kelas, hari ini juga… Kenapa ya?” Adel menunjuk lembar absen yang baru saja selesai diparafnya. Beni, sahabat sekelasnya tertawa kecil. “Paling juga bangun kesiangan lagi. Dia kan sekarang hobinya maen game online sampe pagi. Mungkin nanti kelas siang dia masuk.” “Wah, nge-game sampe pagi? Kok bisa? Dulu dia gak gitu kan ya?” “Tauk. Stres kali. Abis ditinggal pacar, wkwkwk… ” “Yah, tapi gak harus gitu kali. Udah badannya makin abis, dompet juga jadi makin tipis, sebagai temen kan gue juga prihatin. Mana kita sama-sama anak rantau pula. Menurut lo, kita perlu negur dia ga? “Ngapain? Dia udah cukup dewasalah untuk mikir. Biarin aja, hidup dia ya urusan dia…” “Gitu ya.. tapi…” “Gue sebenernya pernah ngomong sih. Bukan cuman nge-game online melulu sih. Ada beberapa hal lain yang menurut gue sebaiknya enggak perlu dia lakukan.” “Terus?” “Terus dia bilang: ‘Lu urus hidup lu sendirilah. Gue mau kayak apa itu urusan gue, yang penting kan gue gak merugikan siapa-siapa. Gue gak menyakiti siapa-siapa. Gue cuman mau senang-senang aja selama masih bisa.’ Ya udah, gue mau ngomong apa lagi?” “Wah, gitu ya?” “Ya, bener juga sih, selama dia ga merugikan orang lain, terserah dialah mau hidup kayak apa.” Adel terdiam. Fian adalah teman yang sangat baik. Dia pintar, juga lembut hati dan suka menolong. Rasanya tidak rela melihat orang sebaik itu melakukan hal-hal yang menurut Adel, bodoh, merugikan diri sendiri. Tetapi, apa daya? Perkataan Beni masuk di akal. Tiap orang berhak menentukan bagaimana caranya menjalani hidup. Apa salahnya juga Fian melakukan hal yang ia senangi? Toh, dia tidak merugikan siapa-siapa… Bagaimana menurutmu? Sebagai seorang Kristen, setujukah kamu bahwa tidak masalah bagaimana caramu menjalani hidup selama kamu tidak merugikan orang lain? Apa yang menjadi dasar pemikiranmu itu? |
You are subscribed to email updates from WarungSaTeKaMu.org To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |
0 komentar:
Posting Komentar