Santapan Rohani Hari Ini: Menembus Kegelapan

Posted On // Leave a Comment

Santapan Rohani Hari Ini: Menembus Kegelapan


Menembus Kegelapan

Posted: 28 Sep 2015 10:00 AM PDT

Selasa, 29 September 2015

Menembus Kegelapan

Baca: Yesaya 60:19-22

60:19 Bagimu matahari tidak lagi menjadi penerang pada siang hari dan cahaya bulan tidak lagi memberi terang pada malam hari, tetapi TUHAN akan menjadi penerang abadi bagimu dan Allahmu akan menjadi keagunganmu.

60:20 Bagimu akan ada matahari yang tidak pernah terbenam dan bulan yang tidak surut, sebab TUHAN akan menjadi penerang abadi bagimu, dan hari-hari perkabunganmu akan berakhir.

60:21 Pendudukmu semuanya orang-orang benar, mereka memiliki negeri untuk selama-lamanya; mereka sebagai cangkokan yang Kutanam sendiri untuk memperlihatkan keagungan-Ku.

60:22 Yang paling kecil akan menjadi kaum yang besar, dan yang paling lemah akan menjadi bangsa yang kuat; Aku, TUHAN, akan melaksanakannya dengan segera pada waktunya.

TUHAN akan menjadi penerang abadi bagimu dan Allahmu akan menjadi keagunganmu. —Yesaya 60:19

Menembus Kegelapan

Saya pertama kali melihat kilasan cahayanya ketika saya masih kuliah. Suatu malam di musim gugur yang sangat dingin, jauh dari sinar lampu kota, saya sedang naik di atas kereta pengangkut jerami yang dijejali oleh beberapa orang teman. Kala itu langit bercahaya dan kilauan warna-warni terbentang di cakrawala. Saya dibuat terpana. Sejak malam itu, saya selalu terpesona pada fenomena alam yang disebut aurora borealis itu, yang juga dikenal sebagai Cahaya Utara. Kebanyakan cahaya itu terlihat jauh di Utara dari tempat tinggal saya, tetapi adakalanya muncul di garis lintang yang lebih rendah. Sekali melihat fenomena itu, saya jadi ingin melihatnya lagi. Kapan pun kondisinya memungkinkan, saya berkata kepada teman-teman yang juga ikut terpesona pada fenomena itu, “Mungkin malam ini . . .”

Dalam Kitab Suci, terang dan kemuliaan digunakan untuk menggambarkan kedatangan Tuhan. Suatu hari kelak matahari dan bulan tidak lagi diperlukan sebagai penerang (Yes. 60:19). Dan untuk menggambarkan Allah di atas takhta-Nya, Yohanes menulis, “Dia yang duduk di takhta itu nampaknya bagaikan permata yaspis dan permata sardis; dan suatu pelangi melingkungi takhta itu gilanggemilang bagaikan zamrud rupanya” (Why. 4:3).

Zamrud yang melingkari takhta merupakan deskripsi yang tepat bagi Cahaya Utara. Jadi setiap kali saya melihat kemunculan cahaya yang luar biasa indah di langit—baik secara langsung atau melalui foto atau video—saya menganggapnya sebagai antisipasi untuk peristiwa mulia yang kelak akan datang, dan saya memuji Allah karena sekarang pun kemuliaan-Nya sedang menembus kegelapan. — Julie Ackerman Link

Ya Tuhan, dunia di sekeliling kami terkadang begitu gelap sehingga kami sulit melihat kuasa-Mu dan kebaikan-Mu. Terima kasih kami diingatkan bahwa kegelapan takkan berlangsung selamanya. Tolong kami menanti dengan penuh harap ketika kelak kami melihat Engkau di atas takhta-Mu.

Yesus datang untuk menerangi dunia yang gelap.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 7-8; Efesus 2

Apakah Kamu Orang Percaya?

Posted: 28 Sep 2015 02:00 AM PDT

Oleh: Chia Poh Fang
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Are You A Believer?

Are-you-a-believer

Apakah kamu orang percaya? Mungkin kamu akan terkejut mengetahui bahwa kita semua adalah orang percaya—terlepas dari apa pun agama yang kita anut.

Kita semua hidup oleh iman setiap hari—kita mengimani bahwa alarm jam kita akan membangunkan kita tepat waktu dan percaya bahwa kita masih akan hidup untuk menghadapi hari esok. Setiap kita memiliki serangkaian asumsi tertentu tentang bagaimana kehidupan ini seharusnya berjalan. Kita duduk di atas sebuah kursi dengan asumsi bahwa kursi itu sanggup menopang berat badan kita. Kita membuat rencana untuk hari esok karena kita percaya kita akan hidup untuk menjalankan rencana-rencana itu.

Kita adalah sekelompok makhluk yang beriman. Setiap kita menganut keyakinan, nilai, dan pengetahuan tertentu, dan kita memegang hal-hal tersebut sebagai kebenaran dalam hidup kita. Apa yang kita anggap sebagai kebenaran itu menentukan tindakan-tindakan kita dan membentuk proses berpikir kita, seringkali tanpa kita menyadarinya.

Seperti organ jantung, pandangan-dunia—cara kita menerima dan menanggapi sekeliling kita—diam-diam menjadi penggerak banyak hal yang terjadi dalam hidup kita. Jantung kita memompa darah dengan kecepatan 70 kali per menit. Dalam satu tahun, jantung kita akan memompa 3,5-7 juta liter darah melalui seluruh tubuh (tergantung aktivitas kita). Apa yang dikerjakan jantung kita dalam 12 jam setara dengan pekerjaan mengangkat sebuah mobil tangki 65.000 kg sejauh 30 cm dari atas permukaan tanah. Aktivitas yang tidak terlihat namun konsisten inilah yang menjaga kita tetap hidup.

Untuk dapat tetap prima dan untuk mencegah sakit mendadak, kita harus tetap menjaga kesehatan dengan memperkuat ritme jantung kita melalui olahraga yang teratur dan diet yang seimbang. Kita harus mengawasi kadar kolesterol kita untuk mencegah serangan jantung. Jika pandangan-dunia kita ibaratkan sebagai jantung, kita harus terus-menerus memeriksa asumsi-asumsi yang kita miliki. Apakah ada "lemak" dalam pola pikir kita? Bagaimana cara kita melatih penalaran kita? Nutrisi apa yang saat ini kita berikan untuk pemikiran kita?

Sangatlah menarik memperhatikan bahwa sebuah pengalaman yang sama dapat memunculkan penafsiran yang berbeda-beda dari orang yang berbeda. Yang satu bisa merasa begitu sial lalu mengumpat, yang lain melihat adanya berkat lalu bersyukur. Mengapa bisa muncul tanggapan yang jauh berbeda?

Mungkin, karena sebagian dari kita percaya bahwa seseorang merupakan produk dari pengalamannya. Kita percaya bahwa orang-orang yang terlibat di sepanjang masa pertumbuhan kita serta berbagai hal yang kita jumpai dalam hidup, punya peran yang sangat besar dalam menentukan cara kita berhubungan dengan dunia di sekitar kita. Jika pandangan ini benar, kita sama sekali tidak bisa mengendalikan hidup kita. Kita hanyalah korban dari zaman ini, dipermainkan oleh takdir, diombang-ambingkan oleh angin keberuntungan. Orang yang memiliki cara pandang semacam ini jarang mau mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka sendiri. Mereka punya kecenderungan untuk menyalahkan orang lain dan situasi di sekitar mereka. Pertanyaanku adalah: Apakah orang yang demikian membangun hidup di atas sebuah asumsi yang masuk akal?

Sebagian orang lainnya percaya bahwa manusia memegang kunci masa depan mereka sendiri. Istilah para filsuf untuk orang-orang yang demikian adalah para "humanis". Mereka tidak pasrah pada situasi yang ada, mereka berusaha menaklukkannya. Mereka sepertinya percaya bahwa manusia itu sempurna—benarkah manusia tidak pernah gagal?

Dua contoh tersebut mungkin terlalu sederhana untuk menjelaskan perilaku manusia yang sangat kompleks. Poin yang ingin aku tunjukkan adalah bagaimana kedua sistem kepercayaan dan pola perilaku yang dihasilkannya itu dibangun di atas dasar yang sama: asumsi-asumsi yang tidak diuji secara cermat. Parahnya lagi, kita bisa saja memegang dua asumsi yang bertolak belakang pada saat yang sama, dan tindakan yang kita ambil bisa berbeda-beda tergantung situasi yang kita hadapi. Hal ini membuat kita menjadi orang-orang yang tidak punya prinsip, yang menjalani hidup hanya berdasarkan naluri untuk melindungi dan mencari kenyamanan diri. Kita mengiyakan kepercayaan apapun yang paling cocok dengan minat kita pada satu waktu tertentu.

Mungkin ini waktunya bagi kita untuk memperhatikan nasihat Jonathan Edwards, salah satu filsuf dan ahli teologi di Amerika yang banyak dikenal karena pemikiran-pemikirannya yang penting dan orisinal: "Sangatlah penting untuk selalu menyelidiki hatimu; agar di dalamnya citra Tuhan dapat tertanam; hal-hal yang disukai-Nya dapat terus berkembang; dunia dan kedagingan dapat ditaklukkan; cinta akan dosa dapat disingkirkan, dan cinta akan kekudusan dapat bertumbuh."

Mari memeriksa apa yang kita percayai dan mengapa kita mempercayainya, karena keyakinan kita membentuk kelakuan kita. Salah satu cara terbaik untuk memeriksa keyakinan kita adalah dengan memperhatikan tindakan-tindakan kita lalu bertanya: Mengapa aku melakukan hal ini? Mengapa aku mengucapkan hal itu? Lebih penting lagi, kita perlu menanyakan: Apakah sikapku mencerminkan citra Allah dan hal-hal yang disukai-Nya? Apakah aku sedang bertumbuh dalam kekudusan atau keduniawian?

0 komentar:

Posting Komentar