Santapan Rohani Hari Ini: Gurun yang Tandus

Posted On // Leave a Comment

Santapan Rohani Hari Ini: Gurun yang Tandus


Gurun yang Tandus

Posted: 10 Jul 2015 10:00 AM PDT

Sabtu, 11 Juli 2015

Gurun yang Tandus

Baca: Yesaya 48:16-22

48:16 Mendekatlah kepada-Ku, dengarlah ini: Dari dahulu tidak pernah Aku berkata dengan sembunyi dan pada waktu hal itu terjadi Aku ada di situ.” Dan sekarang, Tuhan ALLAH mengutus aku dengan Roh-Nya.

48:17 Beginilah firman TUHAN, Penebusmu, Yang Mahakudus, Allah Israel: “Akulah TUHAN, Allahmu, yang mengajar engkau tentang apa yang memberi faedah, yang menuntun engkau di jalan yang harus kautempuh.

48:18 Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah-Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidak pernah berhenti,

48:19 maka keturunanmu akan seperti pasir dan anak cucumu seperti kersik banyaknya; nama mereka tidak akan dilenyapkan atau ditiadakan dari hadapan-Ku.”

48:20 Keluarlah dari Babel, larilah dari Kasdim! Beritahukanlah dengan suara sorak-sorai dan kabarkanlah hal ini! Siarkanlah itu sampai ke ujung bumi! Katakanlah: “TUHAN telah menebus Yakub, hamba-Nya!”

48:21 Mereka tidak menderita haus, ketika Ia memimpin mereka melalui tempat-tempat yang tandus; Ia mengeluarkan air dari gunung batu bagi mereka; Ia membelah gunung batu, maka memancarlah air.

48:22 “Tidak ada damai sejahtera bagi orang-orang fasik!” firman TUHAN.

Mereka tidak menderita haus, ketika Ia memimpin mereka melalui tempat-tempat yang tandus. —Yesaya 48:21

Gurun yang Tandus

Gersang, berdebu, berbahaya. Itulah padang gurun—suatu wilayah yang hanya memiliki sedikit air dan yang tidak bisa menunjang kehidupan. Gurun juga dipakai untuk melukiskan suatu tempat yang tak berpenghuni. Kehidupan di gurun memang keras dan tidak banyak orang yang mau hidup di sana. Namun, terkadang kita tak dapat menghindarinya.

Dalam Kitab Suci, umat Allah telah terbiasa dengan kehidupan gurun. Sebagian besar wilayah Timur Tengah, termasuk Israel, adalah padang gurun. Namun demikian, masih ada sejumlah daerah yang subur, seperti Lembah Yordan dan tanah di sekitar Danau Galilea. Allah memilih untuk “membesarkan keluarga-Nya” di tempat yang dikelilingi gurun, di mana Dia dapat menyatakan kebaikan-Nya kepada umat-Nya apabila mereka mempercayai Dia untuk melindungi dan memberi mereka makan sehari-hari (Yes. 48:17-19).

Di masa kini, kebanyakan dari kita tidak hidup di padang gurun secara harfiah, tetapi kita sering merasa seperti sedang berjalan melalui padang gurun. Terkadang kita melewatinya sebagai bentuk ketaatan kita. Di lain waktu, kita mendapati diri berada di padang gurun bukan oleh pilihan atau kesadaran kita. Ketika seseorang menelantarkan kita, atau penyakit menyerang tubuh kita, kita bagai terdampar di tengah padang gurun yang langka dengan sumber daya dan mengalami sulitnya bertahan hidup.

Akan tetapi, maksud utama dari pengalaman di padang gurun, baik dalam pengertian harfiah maupun kiasan, adalah untuk mengingatkan bahwa kita bergantung kepada Allah yang menopang kehidupan kita. Itulah pelajaran yang perlu kita ingat, bahkan ketika kita sedang hidup di dalam kelimpahan sekalipun. —Julie Ackerman Link

Apakah kamu sekarang hidup di dalam kelimpahan atau justru berkekurangan? Bagaimana cara Allah memelihara hidupmu? Gurun yang Tandus

Di setiap padang gurun, ada mata air anugerah yang disediakan Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 1–3; Kisah Para Rasul 17:1-15

Keluar dari Zona Nyaman

Posted: 10 Jul 2015 02:00 AM PDT

Oleh: Sukma Sari Cornelius

"Tidak ada kenyamanan di zona pertumbuhan, tidak ada pertumbuhan di zona nyaman"

Kalimat ini mengingatkanku pada mutiara. Perhiasan yang indah itu tidaklah terbentuk dalam situasi yang nyaman. Sebaliknya, butiran-butiran mutiara itu terbentuk oleh lapisan-lapisan mineral yang dikeluarkan tiram ketika ada tamu tak diundang (pasir, misalnya) yang masuk ke dalam cangkangnya dan menyebabkan iritasi.

Aku juga punya cangkang pribadi yang indah dan nyaman. Dunia kecilku sendiri. Sebagai anak tunggal dalam keluarga, selama 19 tahun aku telah membangun dunia kecil yang terdiri dari aku, daku, dan diriku. Aku tidak punya saudara kandung, hanya punya orangtua yang selalu sibuk. Aku tidak perlu berbagi apapun dengan siapapun. Aku senang dengan dunia kecilku, dan aku ingin duniaku selalu seperti itu!

Ketika aku mulai kuliah, aku menemukan bahwa kehidupan ternyata jauh lebih besar daripada dunia kecilku. Aku bertemu dengan orang-orang yang beda pandangan hidupnya, beda cara berpikirnya, beda kebiasaannya, beda gaya-hidupnya, dan aku sangat tidak nyaman dengan semua itu. Aku tidak mengerti mengapa orang tidak bisa melihat apa yang kulihat atau melakukan apa yang kulakukan, tetapi, mengapa aku harus memusingkan diri dengan pendapat mereka? Jadi, aku memutuskan untuk mulai membatasi interaksiku dengan orang lain. Lagipula kata "berbagi" itu tidak ada dalam kamusku.

Namun, pada masa itu juga, Tuhan membawaku mengenal anugerah keselamatan-Nya di dalam Yesus Kristus. Di sanalah titik balik dalam hidupku. Menjadi seorang pemimpin kelompok kecil di kampus memaksaku untuk keluar dari cangkangku. Aku harus bertemu secara teratur dengan anggota kelompokku, baik itu kakak tingkat maupun adik tingkat. Aku harus berbagi hidup dengan mereka, mendengarkan mereka, dan berusaha memahami mereka. Sungguh tidak mudah. Rasanya dunia yang telah kubangun dengan hati-hati selama 19 tahun kini hancur berantakan. Sebagai contoh, dalam dunia kecilku dulu, aku tidak pernah berpikir bisa mengasihi orang yang tidak sependapat denganku atau orang yang telah menyakitiku dengan perkataan dan perbuatan mereka. Tetapi, dalam Matius 22:39, Yesus memberi perintah: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri".

Hari ini, setelah sekian tahun berlalu, aku sungguh bersyukur Tuhan telah menarikku keluar dari dunia kecilku. Masa-masa tidak nyaman itu telah mempersiapkanku untuk masuk ke dalam dunia kerja, di mana aku harus berinteraksi dengan banyak orang yang jauh dari sempurna (termasuk diriku). Aku harus berbagi hidup dengan mereka. Bisa dibilang setiap hari, aku harus menghadapi beragam orang dengan visi, kepentingan, dan sikap yang berbeda-beda. Betapa aku senantiasa diingatkan untuk selalu bergantung dan belajar dari Juruselamatku yang Mahakasih.

"Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu," seru nabi Yesaya sembari mengakui dosa-dosanya dan dosa-dosa bangsanya di hadapan Allah (Yesaya 64:8). Sebelum menjadi bejana yang indah dan berguna, tanah liat harus melewati serangkaian proses pembentukan. Pertama-tama, pembuat bejana akan membersihkan tanah liat dari segala macam kotoran yang melekat. Setelah itu, ia akan menekannya berulang-ulang sampai lembut dan mudah dibentuk. Ia lalu akan memanaskan tanah liat yang sudah dibentuk pada suhu tinggi. Semua proses ini samasekali tidak menyenangkan, tetapi jika tidak dilakukan, tanah liat akan tetap menjadi tanah liat, dan tidak akan berubah menjadi bejana yang indah. Proses serupa juga kualami dalam zona pertumbuhanku.

Apakah kamu merasa Allah sedang menarikmu keluar dari cangkang pribadimu? Mungkin Dia telah menunjukkan beberapa area dalam hidupmu yang perlu kamu perbaiki. Mungkin Dia sedang menunjukkan beberapa kebiasaan yang perlu kamu latih sebagai persiapan untuk babak hidupmu selanjutnya. Percayalah pada pimpinan-Nya, meski sepertinya mustahil mengubah cara hidupmu selama ini. Sang Pembuat bejana tahu keindahan karya-Nya setelah nanti selesai dibentuk.

Tidak ada kenyamanan di dalam zona pertumbuhan, tetapi anugerah Tuhan akan memampukan kita untuk terus bertumbuh makin serupa dengan-Nya. Ketika kita menemui banyak tantangan dalam perjalanan pertumbuhan kita, mari ingatkan diri selalu: "Jangan menyerah! Sabar! Tuhan belum selesai membentuk diri kita!"

0 komentar:

Posting Komentar