Santapan Rohani Hari Ini: Kekuatan dalam Ketenangan

Posted On // Leave a Comment

Santapan Rohani Hari Ini: Kekuatan dalam Ketenangan


Kekuatan dalam Ketenangan

Posted: 10 Jun 2015 10:00 AM PDT

Kamis, 11 Juni 2015

Kekuatan dalam Ketenangan

Baca: Keluaran 14:10-14

14:10 Ketika Firaun telah dekat, orang Israel menoleh, maka tampaklah orang Mesir bergerak menyusul mereka. Lalu sangat ketakutanlah orang Israel dan mereka berseru-seru kepada TUHAN,

14:11 dan mereka berkata kepada Musa: “Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat ini terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Mesir?

14:12 Bukankah ini telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja pada orang Mesir. Sebab lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini.”

14:13 Tetapi berkatalah Musa kepada bangsa itu: “Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari TUHAN, yang akan diberikan-Nya hari ini kepadamu; sebab orang Mesir yang kamu lihat hari ini, tidak akan kamu lihat lagi untuk selama-lamanya.

14:14 TUHAN akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja.”

Dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu. —Yesaya 30:15

Kekuatan dalam Ketenangan

Di masa-masa saya baru mengenal Tuhan, tuntutan hidup sebagai orang percaya pernah membuat saya bertanya-tanya apakah saya bisa melewati satu tahun tanpa kembali ke kehidupan saya yang lama. Namun ayat firman Tuhan ini membantu saya: “TUHAN akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja” (Kel. 14:14). Itulah kata-kata Musa kepada bangsa Israel ketika mereka baru saja terlepas dari perbudakan di Mesir dan sedang dikejar-kejar Firaun. Mereka sedang merasa putus asa dan ketakutan.

Sebagai seorang petobat baru yang menghadapi berbagai cobaan di sekitar saya, nasihat untuk “diam saja” itu menguatkan saya. Sekarang, kira-kira 37 tahun kemudian, bersikap tenang dan diam sambil percaya penuh kepada-Nya di tengah berbagai keadaan yang serba menekan selalu menjadi kerinduan saya di dalam menjalani kehidupan iman.

“Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!” kata pemazmur (Mzm. 46:11). Ketika kita tinggal tenang, kita akan mengenal Allah sebagai “tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan” (ay.2). Kita melihat kelemahan kita sendiri di luar Allah dan menyadari kebutuhan kita untuk berserah kepada-Nya. “Sebab jika aku lemah, maka aku kuat,” kata Rasul Paulus (2Kor. 12:10).

Setiap hari kita berjuang melawan stres dan berbagai keadaan lain yang membuat kita frustrasi. Namun kita bisa meyakini bahwa Allah selalu setia pada janji-Nya untuk memelihara kita. Kiranya kita pun belajar untuk tinggal tenang. —Lawrence Darmani

Bapa, Engkaulah yang empunya surga dan Engkau telah berjanji untuk selalu bersamaku. Aku tak perlu takut, karena Engkaulah Allahku. Tenangkanlah aku dengan kasih-Mu.

Tuhan dapat meneduhkan badai di sekitarmu, tetapi yang lebih sering dilakukan-Nya adalah meneduhkan hatimu.

Bacaan Alkitab Setahun: Ezra 1–2; Yohanes 19:23-42

Susahnya Mencintai Ayahku

Posted: 10 Jun 2015 02:00 AM PDT

Oleh: Shawn Quah

(Artikel asli dalam Bahasa Inggris: The Struggle To Love My Dad)

The-Struggle-To-Love-My-Dad

Tidak ada satu momen pun dalam ingatanku yang menunjukkan bahwa ayahku memiliki peran penting dalam hidupku. Tidak dalam tahun-tahun pertumbuhanku, dan jelas tidak pada saat aku menjadi seorang remaja pemberontak. Ayahku selalu sibuk dengan pekerjaannya, berjuang mencari nafkah untuk menghidupi keluarga kami. Pada saat itu, aku tidak bisa memahami mengapa beliau terlalu sibuk untuk menemaniku. Aku menghormatinya, tetapi aku tidak mencintainya.

Tentu saja itu tidak berarti aku selalu bertengkar dengan ayahku. Sebenarnya, ada juga waktu-waktu menyenangkan yang kami lewatkan bersama, misalnya saat kami sekeluarga keluar makan malam atau berkumpul dengan kerabat saat ada yang mengadakan pesta perayaan.
Akan tetapi, di balik semua itu tersimpan rasa tidak suka, yang keluar setiap kali kami bertengkar. Kami bertengkar tentang nilai ujianku yang jelek, tentang ketidakmampuanku mengerjakan hal paling sederhana yang dimintanya, tentang betapa ayah tidak memahamiku, dan tentang kata-katanya yang menyakitkan. Akibatnya, hubungan kami jadi makin berjarak.

Ketika ayahku mencapai usia 50 tahun, kami mendapati bahwa beliau menderita kanker stadium lanjut. Selama dua tahun, ayahku mencoba segala macam pengobatan, baik dari kedokteran Barat maupun Timur, namun sia-sia. Ayah akhirnya menyerah, namun dalam kondisi itu pun aku tidak ambil pusing. Aku terus memendam kepahitan dalam hati dan hampir tidak memiliki rasa simpati terhadapnya.

Beberapa bulan setelah memutuskan untuk tidak menjalani pengobatan apa pun, ayahku pun meninggal. Aku tidak menangis sama sekali pada saat menjaga jenazahnya maupun saat pemakaman berlangsung.

Seminggu setelah pemakamannya, aku naik bis dan melihat para penumpang yang ramai bercakap-cakap dengan rekan yang duduk di sebelahnya. Sembari mengambil tempat duduk, aku teringat akan ayah yang biasanya duduk di sebelahku—tawanya, candanya, kata-katanya, senyumnya, dan waktu-waktu yang aku lewatkan bersamanya saat makan malam. Pipiku tiba-tiba terasa hangat dan basah. Aku buru-buru turun dari bis, duduk di tepi jalan, dan untuk pertama kalinya setelah ayahku meninggal, tangisku pecah. Aku menangisi kepergian ayahku, hancur hati mengingat bahwa beliau tidak akan pernah kembali lagi.

Malam itu, aku memberitahu ibuku tentang apa yang terjadi dalam perjalananku pulang. Ibu kemudian memberitahukan bagaimana dengan cara-caranya yang kadang konyol, ayahku telah berusaha sedemikian rupa untuk menebus waktu yang hilang saat aku remaja. Beliau berusaha sebaik mungkin untuk terlibat dengan hal-hal yang menarik hatiku, namun aku malah menganggapnya hendak mencampuri urusanku. Aku tidak dapat melihat apa yang sebenarnya—cinta seorang ayah kepada anak laki-lakinya.

Hingga hari ini, kenangan akan ayahku masih melekat di benakku, termasuk ucapan-ucapannya yang dulu tidak kupahami atau kuanggap "sampah". Aku kini menyadari betapa kemarahanku telah menjadi penghalang dalam hubunganku dengan orang yang telah mengusahakan yang terbaik untukku. Aku terlalu angkuh untuk menanggapinya. Aku gagal menerapkan nasihat Rasul Paulus dalam Efesus 4:26, "Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam sebelum padam amarahmu."

Mungkin aku tidak akan pernah lagi bisa bertemu dengan ayahku, karena hingga akhir hidupnya beliau tidak memercayai Kristus. Namun, jika kelak Tuhan memberiku kesempatan untuk melihatnya lagi, aku akan mengatakan kepadanya apa yang tidak pernah bisa aku katakan semasa beliau hidup: "Aku menyayangimu, Ayah."

0 komentar:

Posting Komentar