Santapan Rohani Hari Ini: Kegagalan Bukan Akhir Segalanya |
Kegagalan Bukan Akhir Segalanya Posted: 17 Jun 2015 10:00 AM PDT Kamis, 18 Juni 2015 Baca: Yohanes 18:15-2718:15 Simon Petrus dan seorang murid lain mengikuti Yesus. Murid itu mengenal Imam Besar dan ia masuk bersama-sama dengan Yesus ke halaman istana Imam Besar, 18:16 tetapi Petrus tinggal di luar dekat pintu. Maka murid lain tadi, yang mengenal Imam Besar, kembali ke luar, bercakap-cakap dengan perempuan penjaga pintu lalu membawa Petrus masuk. 18:17 Maka kata hamba perempuan penjaga pintu kepada Petrus: “Bukankah engkau juga murid orang itu?” Jawab Petrus: “Bukan!” 18:18 Sementara itu hamba-hamba dan penjaga-penjaga Bait Allah telah memasang api arang, sebab hawa dingin waktu itu, dan mereka berdiri berdiang di situ. Juga Petrus berdiri berdiang bersama-sama dengan mereka. 18:19 Maka mulailah Imam Besar menanyai Yesus tentang murid-murid-Nya dan tentang ajaran-Nya. 18:20 Jawab Yesus kepadanya: “Aku berbicara terus terang kepada dunia: Aku selalu mengajar di rumah-rumah ibadat dan di Bait Allah, tempat semua orang Yahudi berkumpul; Aku tidak pernah berbicara sembunyi-sembunyi. 18:21 Mengapakah engkau menanyai Aku? Tanyailah mereka, yang telah mendengar apa yang Kukatakan kepada mereka; sungguh, mereka tahu apa yang telah Kukatakan.” 18:22 Ketika Ia mengatakan hal itu, seorang penjaga yang berdiri di situ, menampar muka-Nya sambil berkata: “Begitukah jawab-Mu kepada Imam Besar?” 18:23 Jawab Yesus kepadanya: “Jikalau kata-Ku itu salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau kata-Ku itu benar, mengapakah engkau menampar Aku?” 18:24 Maka Hanas mengirim Dia terbelenggu kepada Kayafas, Imam Besar itu. 18:25 Simon Petrus masih berdiri berdiang. Kata orang-orang di situ kepadanya: “Bukankah engkau juga seorang murid-Nya?” 18:26 Ia menyangkalnya, katanya: “Bukan.” Kata seorang hamba Imam Besar, seorang keluarga dari hamba yang telinganya dipotong Petrus: “Bukankah engkau kulihat di taman itu bersama-sama dengan Dia?” 18:27 Maka Petrus menyangkalnya pula dan ketika itu berkokoklah ayam. Dikutip dari Alkitab Terjemahan Baru Indonesia (c) LAI 1974 Engkau adalah Yang Kudus dari Allah. —Yohanes 6:69 Perdana Menteri Winston Churchill punya cara yang ampuh untuk membangkitkan semangat warga Inggris pada masa Perang Dunia II. Pada tanggal 18 Juni 1940, kepada rakyatnya yang sedang ketakutan, ia mengatakan, “Hitler tahu bahwa ia harus menghancurkan kita . . . atau ia akan kalah perang. . . . Jadi marilah kita memperkuat diri . . . dan mempertahankan diri, hingga seandainya Kerajaan Inggris [bertahan] selama seribu tahun, orang akan tetap berkata, ‘Inilah saat terbaik mereka!’” Kita semua pasti suka dikenang karena “saat terbaik” yang pernah kita alami. Mungkin saat terbaik yang pernah dialami Rasul Petrus adalah ketika ia menyerukan, “Engkau adalah yang Kudus dari Allah” (Yoh. 6:69). Namun, terkadang kita membiarkan kegagalan menjadi penentu jalan hidup kita. Setelah Petrus berulang kali menyangkal bahwa ia mengenal Yesus, ia pergi dan menangis dengan sedihnya (Mat. 26:75; Yoh. 18). Seperti Petrus, kita semua pernah gagal—dalam hubungan kita, dalam pergumulan kita terhadap dosa, dan dalam kesetiaan kita kepada Allah. Namun “kegagalan bukanlah akhir segalanya,” seperti juga pernah dikatakan Churchill. Syukurlah, hal itu juga berlaku dalam kehidupan rohani kita. Yesus mengampuni Petrus yang bertobat dari kegagalannya (Yoh. 21) dan memakai dirinya untuk mengabarkan Injil serta membawa banyak jiwa kepada Sang Juruselamat. Kegagalan bukanlah akhir segalanya. Dengan cara yang penuh kasih, Allah memperbarui setiap orang yang mau datang kembali kepada-Nya. —Cindy Hess Kasper Bapa, terima kasih atas pengampunan-Mu. Kami mengucap syukur atas belas kasih dan anugerah yang sudah Engkau berikan secara cuma-cuma melalui darah yang dicurahkan Anak-Mu, Yesus. Ketika Tuhan mengampuni, Dia menghapus dosa dan memperbarui jiwa. Bacaan Alkitab Setahun: Nehemia 10–11; Kisah Para Rasul 4:1-22 |
Bagaimana Aku Akhirnya Memahami Orangtuaku Posted: 17 Jun 2015 02:00 AM PDT Oleh: Lim Chien Chong "Itu tidak adil!" "Kenapa aku selalu dibanding-bandingkan dengan orang lain? Aku tidak sama dengan mereka!" Sebagai seorang anak yang beranjak remaja, aku tidak pernah suka dibanding-bandingkan dengan orang lain. Tak jarang aku protes kepada kedua orangtuaku, karena aku merasa ditempatkan pada posisi yang tidak adil dan merugikan. Aku selalu merasa mereka membuat standar tertentu dan mengharuskan aku mencapainya. Saat masih kecil (mungkin juga sampai sekarang), aku selalu lebih banyak dan lebih lantang bicara daripada kakak laki-lakiku. Aku tidak mengerti mengapa aku selalu mendapat mainan yang lebih cepat rusak, mengapa aku selalu lebih berantakan dari kakakku dan lebih sering dinasihati bahkan dimarahi ibuku. Aku merasa orangtuaku secara tidak langsung memberitahuku bahwa kakakku itu lebih baik, dan aku seharusnya berusaha menjadi seperti dia. Lebih menyakitkan lagi, aku sepertinya selalu menjadi penerima "barang bekas" dari kakakku. Dia selalu mendapatkan baju baru, sementara aku harus puas memakai baju bekasnya. Memang orangtuaku membelikan juga barang-barang yang aku butuhkan, tetapi aku lebih banyak mengingat apa yang tidak mereka belikan dibanding apa yang mereka belikan untukku. Sebenarnya ini sebuah ironi. Aku minta orangtuaku untuk tidak membanding-bandingkan aku dengan orang lain, tetapi di alam bawah sadar aku sendiri membanding-bandingkan diriku dengan kakakku, membanding-bandingkan orangtuaku dengan orangtua teman-temanku. Pernahkah kamu juga mengalami situasi serupa? Sisi baiknya, aku sangat memahami perasaan anak-anakku, karena itu persis apa yang kurasakan saat aku seusia dengan mereka. Dan aku menemukan diriku berusaha mengajak mereka melihat situasi itu dari posisi kami sebagai orangtua, sebelum mereka mulai mengeluh bahwa mereka diperlakukan tidak adil. Bersyukur bahwa mereka sepertinya mengerti. Seingatku pada usia mereka aku tidak punya pengertian sebesar itu. Akan tetapi, sekalipun aku pikir caraku ada benarnya—ketika kita mengajak orang melihat sebuah situasi dari sudut pandang orang lain, kita bisa lebih memahami dan menghargai orang lain—aku pun menemukan bahwa pendekatan ini kadang sulit diterapkan dan bisa bersifat subjektif. Bagian firman Tuhan ini juga mengajarkan kepada orangtua (terutama para ayah): "janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Dalam bagian Alkitab yang sejajar dengan itu, Kolose 3:21, Rasul Paulus mengingatkan para orangtua: "janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya." Sebagai pengikut Kristus yang kini mengemban peran seorang ayah, aku berusaha sebaik mungkin untuk menyenangkan Allah. Aku juga belajar bahwa anak-anak dapat menolong kami para ayah untuk bisa menyemangati dan membimbing mereka dengan lebih baik. Bagaimana hal ini diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, mungkin berbeda-beda untuk setiap keluarga. Dalam keluargaku, aku membuka diri untuk menerima masukan dari anak-anakku, terutama jika mereka menyampaikannya dengan kasih pada waktu yang tepat, dengan penuh hormat dan kepedulian terhadapku sebagai ayah sekaligus saudara seiman mereka di dalam Kristus. Kedengarannya mungkin agak aneh, tetapi seperti itulah Alkitab menggambarkan hubungan kita. Sebaliknya, jika anak-anakku membuka diri untuk menerima masukan dariku tentang bagaimana mereka dapat menaati dan menghormatiku, aku akan sangat senang memberitahu mereka caranya (tentu saja aku akan melakukannya pada waktu yang tepat, dengan cara yang menunjukkan bahwa aku mengasihi dan menghargai mereka). Sebagaimana halnya semua keluarga yang lain, interaksi dan dinamika dalam keluarga kita bisa dibilang kompleks. Kita tidak selalu mendengarkan dengan baik dan tidak selalu berbicara dengan sikap yang menghormati satu sama lain. Bahkan meski kita sudah berusaha melakukannya, kita bisa saja menggunakan kata-kata yang tidak tepat sehingga menyinggung orang yang kita ajak bicara. Entah kita menyadarinya atau tidak, kita sungguh sangat membutuhkan pertolongan dari Tuhan. Dalam segala sesuatu, aku harus berdoa mohon hikmat untuk menjadi seorang ayah yang lebih baik dalam membimbing dan menyemangati anak-anakku, terlepas dari apakah sikap mereka mendukung hal itu atau tidak. Aku berdoa agar sekalipun aku tidak sempurna di mata anak-anakku, Allah akan menolong mereka untuk mempraktikkan firman-Nya, untuk menaati dan menghormati orangtua mereka. Hari ini aku bersyukur kepada Tuhan atas kesempatan untuk belajar apa artinya menjadi seorang ayah yang mencerminkan karakter Tuhan. Aku juga bersyukur diberi kesempatan untuk belajar menjadi seorang anak yang mencerminkan karakter Tuhan bagi orangtuaku yang sudah lanjut usia. Aku sadar bahwa aku pun perlu terus bertumbuh, sama seperti anak-anakku perlu bertumbuh. Alkitab dengan jelas menunjukkan bagaimana Yesus taat kepada Bapa, dan bagaimana Bapa mengasihi Dia. Hubungan yang indah dalam Allah Tritunggal ini memberikan makna yang lebih dalam ketika aku menjalankan peranku sebagai anak bagi ayahku sekaligus sebagai ayah bagi anak-anakku. Motivasiku tidak hanya untuk mempertahankan keluargaku, tetapi untuk menjadi makin serupa dengan Tuhan, untuk menghidupi prinsip-prinsip hubungan yang ada di antara ketiga pribadi Allah Tritunggal. Pengalaman ini juga menolongku untuk lebih memahami hubungan yang dimiliki Yesus dengan Allah Bapa-Nya. |
You are subscribed to email updates from WarungSaTeKaMu.org To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |
0 komentar:
Posting Komentar