Santapan Rohani Hari Ini: Karunia Air Mata

Posted On // Leave a Comment

Santapan Rohani Hari Ini: Karunia Air Mata


Karunia Air Mata

Posted: 29 May 2015 10:00 AM PDT

Sabtu, 30 Mei 2015

Karunia Air Mata

Baca: Yohanes 11:32-44

11:32 Setibanya Maria di tempat Yesus berada dan melihat Dia, tersungkurlah ia di depan kaki-Nya dan berkata kepada-Nya: "Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati."

11:33 Ketika Yesus melihat Maria menangis dan juga orang-orang Yahudi yang datang bersama-sama dia, maka masygullah hati-Nya. Ia sangat terharu dan berkata:

11:34 "Di manakah dia kamu baringkan?" Jawab mereka: "Tuhan, marilah dan lihatlah!"

11:35 Maka menangislah Yesus.

11:36 Kata orang-orang Yahudi: "Lihatlah, betapa kasih-Nya kepadanya!"

11:37 Tetapi beberapa orang di antaranya berkata: "Ia yang memelekkan mata orang buta, tidak sanggupkah Ia bertindak, sehingga orang ini tidak mati?"

11:38 Maka masygullah pula hati Yesus, lalu Ia pergi ke kubur itu. Kubur itu adalah sebuah gua yang ditutup dengan batu.

11:39 Kata Yesus: "Angkat batu itu!" Marta, saudara orang yang meninggal itu, berkata kepada-Nya: "Tuhan, ia sudah berbau, sebab sudah empat hari ia mati."

11:40 Jawab Yesus: "Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?"

11:41 Maka mereka mengangkat batu itu. Lalu Yesus menengadah ke atas dan berkata: "Bapa, Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena Engkau telah mendengarkan Aku.

11:42 Aku tahu, bahwa Engkau selalu mendengarkan Aku, tetapi oleh karena orang banyak yang berdiri di sini mengelilingi Aku, Aku mengatakannya, supaya mereka percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku."

11:43 Dan sesudah berkata demikian, berserulah Ia dengan suara keras: "Lazarus, marilah ke luar!"

11:44 Orang yang telah mati itu datang ke luar, kaki dan tangannya masih terikat dengan kain kapan dan mukanya tertutup dengan kain peluh. Kata Yesus kepada mereka: "Bukalah kain-kain itu dan biarkan ia pergi."

Maka menangislah Yesus. —Yohanes 11:35

Karunia Air Mata

Suatu hari saya menelepon seorang teman lama ketika ibunya meninggal dunia. Ibunya adalah teman dekat ibu saya, dan sekarang mereka berdua telah berpulang ke rumah Bapa. Sepanjang perbincangan itu, luapan emosi kami berdua mengalir bergantian dengan bebas—ada air mata kesedihan karena mengenang ibunya yang telah tiada, tetapi ada air mata tawa ketika kami mengingat kepribadiannya yang menyenangkan dan penuh perhatian.

Banyak dari kita pernah mengalami pergantian emosi dari air mata hingga tawa bahagia. Ketika emosi dukacita dan sukacita dapat disalurkan secara fisik dengan menangis, itu merupakan karunia yang luar biasa mengagumkan.

Karena kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26), dan humor adalah bagian yang tak terpisahkan dari setiap budaya, saya membayangkan Yesus pasti memiliki selera humor yang mengagumkan. Namun kita tahu bahwa Dia juga mengenal rasa sakit dari dukacita. Ketika sahabatnya Lazarus meninggal, Yesus melihat Maria menangis, dan terharulah hati-Nya. Tidak lama kemudian, Dia juga mulai menangis (Yoh. 11:33-35).

Kemampuan kita untuk mengungkapkan emosi dengan air mata adalah sebuah karunia, dan Allah memperhatikan setiap air mata yang kita keluarkan. Mazmur 56:9 berkata, “Sengsaraku Engkaulah yang menghitung-hitung, air mataku Kautaruh ke dalam kirbat-Mu . Bukankah semuanya telah Kaudaftarkan?” Namun kelak—kita telah dijanjikan—“Allah akan menghapus segala air mata”(Why. 7:17). —Cindy Hess Kasper

Tuhan, Engkau telah menciptakan kami untuk bisa tertawa, menangis, berseru, dan mengasihi, serta merindukan mereka yang telah pergi mendahului kami. Tolong kami untuk mengasihi lebih dalam lagi, dengan mempercayai kebaikan-Mu dan kebangkitan yang Engkau janjikan.

Bapa Surgawi yang penuh kasih telah menghapus dosa kita dan Dia juga akan menghapus air mata kita.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 10-12; Yohanes 11:30-57

Photo credit: CarbonNYC [in SF!] / Foter / CC BY

Tuhan, Aku Ingin Seperti Dia!

Posted: 29 May 2015 02:00 AM PDT

Oleh: Christin Siahaan

When-I-Wanted-to-Be-Like-Her

Orang itu keren banget! Punya banyak talenta, berprestasi, populer, dan sangat menyenangkan. Betapa aku ingin seperti dia! Pernahkah pemikiran semacam ini muncul dalam benakmu? Awalnya kamu hanya mengamati seseorang, entah itu teman baikmu atau kenalan biasa, kemudian kamu mulai mengaguminya, lalu tanpa disadari, rasa cemburu sudah menguasai hatimu.

Saat aktif melayani di kampus, seorang teman pernah membagikan pengalamannya dalam kelompok doa. Dengan sangat bersemangat ia menceritakan sahabat doanya yang baru (agar mudah, sebut saja namanya Joy), katanya: "Orang itu benar-benar hidup kudus!" Ia bukan sedang bercanda atau menyindir sikap religius Joy. Dari nadanya aku tahu ia benar-benar mengagumi sahabat yang kehidupan doanya patut diteladani itu. Aku tidak mengenal Joy secara dekat, meski ia satu fakultas denganku, tetapi aku tahu bahwa Joy sangat aktif dalam pelayanan, dan tampaknya selalu haus untuk belajar tentang Tuhan. Mendengarkan pujian tulus yang ditujukan kepadanya, rasa cemburu tiba-tiba menyelinap di benakku, "Ah Tuhan, aku juga ingin seperti dia!"

Perasaan cemburu itu membawaku memeriksa kembali hubunganku dengan Tuhan. Memang harus diakui, meski aku juga adalah seorang aktivis di kampus, aku jarang meluangkan waktu bersama dengan Tuhan. Dalam banyak hal, aku bahkan masih sering tidak taat pada firman Tuhan. Dengan sikap yang demikian, bagaimana mungkin aku bisa memiliki kedekatan hubungan dengan Tuhan seperti yang dimiliki Joy?

Tuhan mengingatkan aku pada Rasul Paulus. Ada banyak orang yang sudah lebih dulu mengikut Yesus, bahkan menjadi para rasul-Nya. Akan tetapi, Paulus tidak memusingkan dirinya dengan bagaimana ia dapat menyaingi pelayanan rasul-rasul lain, atau bagaimana ia dapat lebih dihargai oleh orang-orang yang ia layani. Sebaliknya, Paulus menetapkan hatinya untuk mengenal Kristus dan untuk hidup makin serupa dengan-Nya (Filipi 3:10). Ia mengerjakan bagiannya untuk taat dan setia, Tuhan yang mengurus hasilnya, membuat kehidupan dan pelayanannya menjadi berkat bagi banyak orang.

Teladan Rasul Paulus mengingatkan aku bahwa pada akhirnya, yang terpenting adalah penilaian Tuhan atas hidup kita. Ketika kita melihat kehidupan orang lain yang sepertinya lebih baik, jangan biarkan rasa cemburu dan iri hati menguasai kita, membuat kita bertanya mengapa Tuhan tidak membiarkan kita sukses seperti mereka. Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk mengejar keserupaan dengan orang lain. Dia memanggil kita untuk menjadi serupa dengan Kristus. Sebab itu, kita dapat merayakan proses pertumbuhan dan keberhasilan-keberhasilan orang lain sembari terus bertekun dalam proses pertumbuhan kita sendiri, dengan keyakinan bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang berbeda-beda dalam kehidupan setiap orang, untuk kebaikan kita. Dia sedang membentuk hidup kita agar dapat mempermuliakan-Nya di mana pun Dia menempatkan kita.

0 komentar:

Posting Komentar