Santapan Rohani Hari Ini: Jangan Khawatir!

Posted On // Leave a Comment

Santapan Rohani Hari Ini: Jangan Khawatir!


Jangan Khawatir!

Posted: 13 Apr 2015 10:00 AM PDT

Selasa, 14 April 2015

Jangan Khawatir!

Baca: 1 Petrus 5:1-11

5:1 Aku menasihatkan para penatua di antara kamu, aku sebagai teman penatua dan saksi penderitaan Kristus, yang juga akan mendapat bagian dalam kemuliaan yang akan dinyatakan kelak.

5:2 Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri.

5:3 Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu.

5:4 Maka kamu, apabila Gembala Agung datang, kamu akan menerima mahkota kemuliaan yang tidak dapat layu.

5:5 Demikian jugalah kamu, hai orang-orang muda, tunduklah kepada orang-orang yang tua. Dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain, sebab: "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati."

5:6 Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya.

5:7 Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.

5:8 Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya.

5:9 Lawanlah dia dengan iman yang teguh, sebab kamu tahu, bahwa semua saudaramu di seluruh dunia menanggung penderitaan yang sama.

5:10 Dan Allah, sumber segala kasih karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu, sesudah kamu menderita seketika lamanya.

5:11 Ialah yang empunya kuasa sampai selama-lamanya! Amin.

Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu. —1 Petrus 5:7

Jangan Khawatir!

George Burns, seorang aktor dan humoris asal Amerika Serikat, berkata, “Kalau kamu bertanya, ‘Apakah kunci utama untuk hidup panjang umur?’ Saya akan menjawab: jangan khawatir, stres, dan tegang. Kalau pun kamu tidak bertanya kepada saya, saya tetap akan mengatakannya.” Burns, yang hidup hingga usia 100 tahun, suka sekali membuat orang lain tertawa, dan rupanya ia mengikuti nasihatnya sendiri.

Namun bagaimana kita dapat menjauhi kekhawatiran, padahal hidup kita begitu tidak pasti, penuh dengan beragam masalah dan kebutuhan? Rasul Petrus memberi penguatan berikut kepada para pengikut Yesus yang terpaksa harus tersebar ke berbagai tempat di Asia pada abad pertama: “Rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya. Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1Ptr.5:6-7).

Perintah Petrus tidak diberikan untuk menolong kita menghindari penderitaan (ay.9), tetapi supaya kita dapat menemukan kedamaian dan kekuatan untuk berdiri teguh dan menang menghadapi serangan Iblis (ay. 8-10). Alih-alih diliputi oleh kegelisahan dan kekhawatiran, kita telah dimerdekakan untuk menikmati kasih Allah kepada kita dan untuk menunjukkan kasih itu kepada satu sama lain.

Tujuan kita bukanlah untuk melihat berapa lama kita akan hidup, melainkan untuk hidup sepenuhnya dalam pelayanan kasih kepada Tuhan di sepanjang usia yang diberikan kepada kita. —David McCasland

Tuhan, aku mengakui bahwa aku suka mengandalkan diri sendiri dan menjadi khawatir. Hal itu membebani jiwaku dan terkadang membuatku tidak bisa tidur di waktu malam. Angkatlah beban itu dari hatiku saat aku bersandar pada-Mu.

Allah itu Bapaku, aku tak memikirkan lagi apa yang telah dilupakan oleh- Nya. Jadi, mengapa aku harus khawatir? —Oswald Chambers

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 25-26; Lukas 12:32-59

5 Hal Baru yang Kupelajari dari Kisah Orang Samaria yang Murah Hati

Posted: 13 Apr 2015 02:00 AM PDT

Oleh: Tri Setia Kristiyani

5-pelajaran-dari-orang-samaria

Apa yang kamu pelajari dari "Kisah Orang Samaria yang Murah Hati" yang terkenal itu? Biasanya aku mendengar nasihat untuk berbuat baik tanpa membeda-bedakan latar belakang orang yang ditolong. Namun, ketika aku membaca sendiri catatan Alkitab tentang kisah tersebut (Lukas 10:25-37), ternyata ada banyak hal menarik yang bisa kupelajari.

1. Berbicara tentang kebenaran tidak menjamin seseorang memiliki hati yang benar.
Menarik untuk memperhatikan bahwa kisah ini ternyata merupakan sebuah perumpamaan yang diceritakan Yesus sebagai jawaban atas “pertanyaan tidak tulus” dari seorang ahli Taurat (Lukas 10:25). Pakar Kitab Suci itu sengaja hendak mencobai Yesus! Ia tidak benar-benar ingin tahu tentang kebenaran, ia hanya ingin menguji Yesus di depan banyak orang. Dalam catatan Lukas sebelumnya, ahli-ahli Taurat dan orang Farisi memang bermaksud mencari-cari kesalahan Yesus (Lukas 6:7,11). Hari ini, kita pun bisa berdiskusi tentang kebenaran dengan motivasi keliru. Kita tidak sungguh-sungguh ingin tahu tentang kebenaran, tetapi hanya ingin memuaskan hasrat intelektual kita, menjebak lawan bicara kita, atau bahkan mempermalukannya di depan orang.

2. Khatam Kitab Suci tidak menjamin perubahan karakter
Dari percakapan yang dicatat Lukas, kita tahu bahwa sang ahli Taurat sangat menguasai isi Kitab Suci-nya. Ia bisa mengutip dengan benar hukum yang utama, yang merangkum semua hukum lainnya (lihat Matius 22:37-40). Namun, ketika ia diminta menerapkan apa yang diketahuinya, ia malah berkelit. "Siapakah sesamaku manusia?" katanya "untuk membenarkan diri" (ayat 29). Bisa jadi kita pun sudah mendengar kebenaran berkali-kali, namun terus mencari pembenaran diri untuk tidak melakukannya.

3. Aktif melayani tidak sama dengan menaati Firman Tuhan
Sang ahli Taurat mungkin terperangah dengan jawaban yang diberikan Yesus. Dua tokoh dalam perumpamaan Yesus adalah orang-orang terkemuka dalam komunitas Yahudi. Seorang imam, dan seorang Lewi, suku yang dikhususkan untuk melayani Bait Allah. Mereka tahu betul tentang hukum-hukum Allah, bahkan selalu memperkatakan kebenaran di depan umat Allah. Sayangnya, keterlibatan aktif dalam pelayanan tidak berarti seseorang menaati Firman Tuhan. Ketika diperhadapkan pada kebutuhan sesamanya, baik sang imam maupun orang Lewi, sama-sama tidak mau mempraktikkan kebenaran yang mereka ketahui dan beritakan. Mungkin mereka takut mengambil risiko menolong orang yang belum mereka kenal. Lagipula, mungkin mereka sangat sibuk dan sedang terburu-buru. Bukankah kita pun kerap demikian? Keaktifan kita melayani bukan jaminan bahwa kita selalu menaati Firman Tuhan.

4. Tuhan menghendaki kita mengasihi sesama manusia, bukan manusia yang sama dengan kita.
Perumpamaan ini adalah jawaban Yesus atas pertanyaan sang ahli Taurat: "Siapakah sesamaku manusia?" Ia mungkin berharap Yesus akan menyebutkan kriteria tertentu, yang kemudian bisa disanggahnya. Tetapi, Yesus malah memberikan perumpamaan yang mengejutkan. Orang Samaria adalah keturunan Yahudi yang sudah berdarah campuran, sehingga dihindari oleh orang Yahudi asli. Namun, ketika mendapati seorang Yahudi yang sekarat, justru orang Samaria yang memberikan pertolongan. Sungguh sebuah contoh yang dramatis! Orang yang ditolongnya bukan hanya berasal dari kaum yang berbeda, tetapi yang selama ini juga menghina dan mengasingkan kaumnya! Sebagai pengikut Kristus, kita pun dipanggil melakukan hal yang sama. Mengasihi sesama manusia bukan karena mereka sama dengan kita, atau berbuat baik kepada kita, tetapi karena Tuhan menghendaki kita menyatakan kasih-Nya kepada sesama kita. Dan, itu berarti termasuk orang-orang yang pernah menyakiti kita.

5. Kita membutuhkan kasih karunia Tuhan untuk memampukan kita mengasihi orang lain.
Yesus meminta sang ahli Taurat meneladani perbuatan orang Samaria yang murah hati (ayat 37). Sebuah perintah yang tidak mudah. Jangankan mengasihi orang yang memandang kita sebelah mata, orang dari kelompok yang sama pun belum tentu mudah untuk dikasihi. Betapa kita semua butuh kasih karunia Tuhan untuk dapat menaati perintah-Nya. Kupikir, sulit untuk benar-benar mengasihi jika kita sendiri belum mengalami kasih Allah. Kita hanya akan baik kepada orang yang juga baik terhadap kita, atau karena kita punya kepentingan tertentu. Namun, ketika kita mengingat kasih Allah kepada kita yang berdosa—Kristus mati ganti kita yang seharusnya mendapat hukuman kekal—kita pun digerakkan dan dimampukan untuk mengasihi sesama dengan tidak tanggung-tanggung, termasuk mereka yang dalam pandangan dunia tidak layak untuk dikasihi.

Kisah "Orang Samaria yang Murah Hati" bukan sekadar kisah teladan menolong orang lain tanpa pamrih. Kisah ini seperti cermin yang menunjukkan tembok-tembok keangkuhan diri yang membuat kita cenderung mencari pembenaran diri, tidak menjalankan kebenaran yang sudah berkali-kali kita dengar, menutupi ketidaktaatan kita dengan berbagai aktivitas pelayanan, atau mendefinisikan perintah Tuhan sesuai dengan standar penilaian kita sendiri. Betapa perlu Tuhan menghancurkan tembok-tembok keangkuhan itu agar kita dapat benar-benar mengasihi sesama seperti diri sendiri, sesuai dengan apa yang Tuhan inginkan.

0 komentar:

Posting Komentar