Santapan Rohani Hari Ini: Mendekati Allah

Posted On // Leave a Comment

Santapan Rohani Hari Ini: Mendekati Allah


Mendekati Allah

Posted: 20 Feb 2015 09:00 AM PST

Sabtu, 21 Februari 2015

Mendekati Allah

Baca: Yesaya 6:1-8

6:1 Dalam tahun matinya raja Uzia aku melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci.

6:2 Para Serafim berdiri di sebelah atas-Nya, masing-masing mempunyai enam sayap; dua sayap dipakai untuk menutupi muka mereka, dua sayap dipakai untuk menutupi kaki mereka dan dua sayap dipakai untuk melayang-layang.

6:3 Dan mereka berseru seorang kepada seorang, katanya: "Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!"

6:4 Maka bergoyanglah alas ambang pintu disebabkan suara orang yang berseru itu dan rumah itupun penuhlah dengan asap.

6:5 Lalu kataku: "Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam."

6:6 Tetapi seorang dari pada Serafim itu terbang mendapatkan aku; di tangannya ada bara, yang diambilnya dengan sepit dari atas mezbah.

6:7 Ia menyentuhkannya kepada mulutku serta berkata: "Lihat, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni."

6:8 Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!"

Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya! —Yesaya 6:3

Mendekati Allah

Dahulu saya sempat terusik ketika merasa semakin berdosa justru pada saat saya semakin dekat kepada Allah dalam perjalanan iman saya. Lalu sebuah fenomena di kamar telah menyadarkan saya. Sebuah celah kecil pada tirai yang menutupi jendela meloloskan seberkas cahaya ke dalam kamar saya. Saat mengamatinya, saya melihat partikel-partikel debu yang beter-bangan dalam jalan cahaya itu. Tanpa seberkas cahaya itu, kamar saya terlihat bersih, tetapi kini partikel debu tersebut dapat terlihat jelas.

Pengamatan itu memberikan pencerahan bagi kehidupan rohani saya. Semakin saya mendekat kepada Allah Sang Terang, semakin jelas saya melihat diri sendiri. Saat terang Kristus menyinari gelapnya hidup kita, terang itu akan menyingkapkan dosa kita—bukan untuk mengecilkan hati kita, tetapi untuk merendahkan diri kita agar percaya kepada-Nya. Kita tidak bisa mengandalkan kebenaran kita sendiri, karena kita adalah orang berdosa dan gagal mencapai standar Allah (Rm. 3:23). Saat bersikap sombong, terang itu menyingkapkan isi hati dan kita pun berseru seperti Yesaya, “Celakalah aku! . . . Sebab aku ini seorang yang najis bibir, . . . namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam” (Yes. 6:5).

Allah mutlak sempurna dalam segala hal. Untuk mendekat kepada-Nya, kita dituntut untuk rendah hati, percaya sepenuhnya bagaikan seorang anak, tidak meninggikan diri sendiri dan tidak sombong. Karena hanya oleh anugerah, Allah menarik kita kepada-Nya. Baiklah kita merasa tidak layak saat mendekatkan diri kepada Allah, karena itulah yang membuat kita berserah dan bersandar kepada Dia saja. —LD

Suci, suci, suci, walau tersembunyi
Walau yang berdosa tak nampak wajah-Mu.
Kau tetap Yang Suci, tiada terimbangi,
Kau Mahakuasa, murni kasih-Mu. —Heber
(Kidung Jemaat, No. 2)

Kesombongan tidak mendapat tempat jika kita hidup dekat kepada Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 1-3; Markus 3

Photo credit: Nathan Congleton / Foter / CC BY-NC-SA

Lima Hal yang Menunjukkan Ia Calon (Istri) yang Tepat

Posted: 20 Feb 2015 01:00 AM PST

Oleh: Alex Tee
(artikel asli dalam Bahasa Inggris: 5 Ways To Know She Is The One To Marry)

5-ways-to-know-she's-the-one-to-marry-2

"Kamu yakin ia adalah calon istri yang tepat?"

Pertanyaan semacam ini sangat sering kuterima saat sedang berpacaran. Sejujurnya​​, tanggapan pertama yang muncul di pikiranku adalah, “Aku nggak tahu“, karena rasanya terlalu lancang jika aku mengaku-ngaku lebih tahu dari Tuhan siapa pasangan yang tepat bagiku. Tetapi, tidak berarti aku kemudian sembarangan saja menjalin hubungan. Setidaknya lima hal berikut telah menolongku untuk memiliki kemantapan hati dengan pasanganku.

1. Ia tidak mendorongku berubah menjadi sosok yang ia inginkan, tetapi yang Tuhan inginkan.
Aku tidak akan pernah bisa menjadi seperti aktor Korea favoritnya, Lee Min Ho. Aku pun tidak sekaya atau sepintar teman-temannya. Namun, ia tidak pernah membanding-bandingkan aku dengan mereka. Sebaliknya, dengan lembut ia selalu mengingatkan aku untuk menjadi seorang pria yang Tuhan kehendaki. Sebagai pelayan Tuhan penuh waktu, sering kali aku ingin berhenti dan mencari pekerjaan yang lebih bergengsi. Tetapi, ia selalu mengingatkan aku bahwa bukanlah suatu kebetulan aku terlibat dalam pelayanan penuh waktu untuk kaum muda. Sungguh adalah suatu berkat yang luar biasa jika pekerjaan itu dipercayakan kepadaku meskipun aku bukan orang yang paling cerdas dan pintar bicara menurut ukuran dunia. Butuh kerendahan hati yang besar dari sisiku untuk menerima kata-kata itu. Tetapi, butuh keberanian yang lebih besar dari sisinya untuk bisa mengutarakannya dan mendorong aku menjadi orang yang tekun mengikuti kehendak Tuhan.

2. Ia mendengarkan Tuhan.
Ketika Tuhan berbicara, kita harus berusaha mendengarkan-Nya sebaik mungkin. Ketika dua orang sedang marah, apa pun yang dikatakan oleh salah satu pihak sering kali tidak didengarkan dengan baik, karena tiap pihak hanya memikirkan hak dan kepentingannya sendiri. Tetapi, ketika fokus kita terarah kepada Tuhan, kita tahu bahwa firman-Nya lebih penting daripada hak-hak kita; firman-Nya akan mengarahkan perasaan dan perkataan kita untuk memberi respons yang tepat. Setiap kali aku merasa tidak dapat berkomunikasi dengan pasanganku, Tuhan tidak pernah gagal untuk berbicara kepadanya melalui firman-Nya, dan memampukannya memberi tanggapan yang tepat, bahkan ketika kami sedang bertengkar hebat.

3. Ia terbuka dan jujur ​dalam membagikan pemikirannya.
Salah satu “aturan” pertama yang kami tetapkan pada awal hubungan kami adalah untuk selalu terbuka dan jujur terhadap satu sama lain​​. Aku pun takjub menyadari betapa nyamannya kami bisa saling berbagi segala sesuatu tentang hidup, mulai dari acara-acara yang kami ikuti hingga hal-hal yang telah melukai hati. Bayangkan jika kita harus menyembunyikan semua pemikiran dan rahasia terdalam kita dari orang yang seumur hidup akan mendampingi kita. Sangat tidak nyaman bukan? Sangat penting kita bisa saling terbuka dengan pasangan kita—tahu bahwa ketika kamu jujur kepadanya, kamu tidak akan dihakimi atau ditertawakan, sebaliknya kamu akan dimaafkan dan dihiburkan.

4. Ia ikut aktif memelihara hubungan kami, tidak sekadar mengikuti atau hanya menerima semua yang aku katakan dan lakukan.
Butuh dua tangan untuk bertepuk tangan. Butuh dua pihak yang sama-sama aktif untuk memelihara sebuah hubungan. Pasanganmu tidak bisa menjadi seorang yang hanya mengiyakan segalanya, tetapi harus menjadi seorang yang bisa ikut bertukar pikiran denganmu. Aku bersyukur bahwa dalam hubungan kami, pasanganku tidak mengizinkan aku menjadi seorang yang angkuh. Ia juga tidak berperilaku seperti seorang putri yang tidak bisa menerima kata “tidak”. Aku bersyukur ia sering kali mempertanyakan keputusan-keputusanku, mencoba memahami cara berpikirku, serta membantu mempertajam pemikiranku, agar pada kali berikutnya, aku dapat membuat keputusan yang lebih baik.

5. Ia suka (atau belajar menyukai) apa yang kusukai.
Menjalin sebuah hubungan tidak berarti harus mengakhiri semua hobi dan kegemaran pribadi kita. Tidak juga berarti kamu harus menemukan seseorang yang semua kesukaannya sama persis denganmu. Pada dasarnya aku menyukai olahraga (salah satu olahraga favoritku adalah basket), sementara pasanganku justru takut terhadap bola karena trauma buruk di masa kecil. Perbedaan ini tidak membuatku harus berhenti bermain basket. Pasanganku selama ini sangat mendukung; terkadang ia juga ikut bermain untuk belajar menikmati apa yang aku nikmati.

Alkitab berbicara tentang bagaimana "seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya" (Kejadian 2:24). Prinsip yang dibicarakan di sini adalah pergi dan meninggalkan hal yang lama untuk memulai sesuatu yang baru bersama orang yang kita kasihi. Jika kamu merasa tidak mampu meninggalkan kebiasaan lama atau kecenderungan pribadimu, menyerahkan "ruang pribadimu" untuk belajar menyukai apa yang disukainya, serta membuka seluruh isi hatimu kepadanya, mungkin kamu sebenarnya hanya ingin berteman saja, tidak ingin menjadikannya pasangan hidupmu.

Apakah ini terdengar seperti usaha yang mustahil dan sulit? Jangan berkecil hati! Perjalanan "pergi dan meninggalkan hal yang lama untuk memulai sesuatu yang baru" ini pada praktiknya sangat menyenangkan, lebih daripada apa yang dapat kamu bayangkan.

 
 
Baca juga artikel oleh Tracy tentang Lima Hal yang Menunjukkan Ia Calon (Suami) yang Tepat.

0 komentar:

Posting Komentar