Santapan Rohani Hari Ini: Apa Yang Kita Inginkan?

Posted On // Leave a Comment

Santapan Rohani Hari Ini: Apa Yang Kita Inginkan?


Apa Yang Kita Inginkan?

Posted: 06 Jun 2014 10:00 AM PDT

Sabtu, 7 Juni 2014

Apa Yang Kita Inginkan?

Baca: Mazmur 73:1-3, 21-28

73:1 Mazmur Asaf. Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya.

73:2 Tetapi aku, sedikit lagi maka kakiku terpeleset, nyaris aku tergelincir.

73:3 Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual, kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik.

73:21 Ketika hatiku merasa pahit dan buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya,

73:22 aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu.

73:23 Tetapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku.

73:24 Dengan nasihat-Mu Engkau menuntun aku, dan kemudian Engkau mengangkat aku ke dalam kemuliaan.

73:25 Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi.

73:26 Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.

73:27 Sebab sesungguhnya, siapa yang jauh dari pada-Mu akan binasa; Kaubinasakan semua orang, yang berzinah dengan meninggalkan Engkau.

73:28 Tetapi aku, aku suka dekat pada Allah; aku menaruh tempat perlindunganku pada Tuhan ALLAH, supaya dapat menceritakan segala pekerjaan-Nya.

Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. —Mazmur 73:25

Apa Yang Kita Inginkan?

Teman saya, Mary, mengatakan kepada saya bahwa ia tidak selalu menyanyikan semua lirik himne dan puji-pujian yang dinaikkan dalam kebaktian di gereja. Ia berkata, “Rasanya seperti tidak jujur saat menyanyikan, ‘Yang kurindu hanya Yesus’, sementara hatiku sebenarnya merindukan banyak hal yang lain.” Saya menghargai kejujurannya.

Lewat tulisannya dalam Mazmur 73:25, Asaf terdengar seperti seseorang berpikiran saleh yang hanya menginginkan Allah: “Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi.” Namun ia tidak mengawali mazmur itu dengan sikap demikian. Awalnya, Asaf mengakui bahwa ia menginginkan kemakmuran yang dimiliki orang-orang di sekitarnya: “Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual” (ay.3). Namun semakin dekat dirinya dengan Allah, ia pun menyadari kebodohan dari sikap iri hatinya (ay.21-22,28).

Sekalipun kita mengenal Allah, kita masih sering terusik oleh kemakmuran orang lain di sekitar kita. C. S. Lewis pernah menulis, “Tampaknya Tuhan kita menganggap keinginan kita tidaklah terlalu kuat, tetapi justru terlalu lemah. . . . Kita terlalu mudah merasa puas” pada hal-hal yang lebih kecil dan remeh daripada Allah.

Apakah yang kita pelajari tentang Allah dalam mazmur ini yang bisa menolong kita ketika hasrat diri mengalihkan perhatian kita dari kehendak Allah yang terbaik? Kita melihat bahwa meskipun kita mungkin tergoda untuk merasa iri terhadap milik orang lain, Allah terus membimbing dan membawa kita kembali untuk memusatkan perhatian kepada-Nya. Kita dapat berkata, “Gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya” (ay.26). —AMC

Tuhan, kami percaya bahwa Engkaulah sumber kepuasan yang sejati.
Namun kami lemah, berdosa, dan perhatian kami mudah teralihkan
dari kehendak-Mu yang terbaik. Ajarlah kami untuk mendekat
kepada-Mu, dan kiranya Engkau pun senantiasa mendampingi kami.

Menikmati hikmat Allah tiap-tiap hari akan menyembuhkan penyakit iri hati.

Yuk Doakan Hal-Hal Kecil

Posted: 05 Jun 2014 08:30 PM PDT

Oleh: Sandra Cory Clarisa Tarigan

filipi46

Sebagai anak Allah, gue sangat percaya kalau setiap perkataan yang gue ucapin dalam doa itu sungguh diperhatikan oleh Bapa di surga. Dengan kesadaran itu, gue sangat suka mendoakan detil-detil kecil dalam hidup. Misalnya saja, waktu gue mau belanja, gue berdoa, "Tuhan, arahkan aku ke toko yang bagus dan harganya murah, supaya aku bisa beli barang yang memang aku butuhkan dan enggak boros." Atau, waktu gue siap-siap mau ke gereja dan hujan turun dengan derasnya, gue berdoa, "Tuhan, tolonglah supaya hujannya berhenti setidaknya 15 menit sebelum gue berangkat." Atau, waktu gue ke-ge-er-an sama temen cowok yang baik banget, gue berdoa, "Tuhan, tolong aku supaya tahu bagaimana berinteraksi dengan bijak terhadap dia."

Mungkin doa-doa sederhana macam itu kedengarannya gak penting banget. Tapi, bukankah Tuhan sendiri mengundang kita untuk menyampaikan keinginan-keinginan hati kita dalam doa?

Filipi 4:6 berkata:
Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.

Lebih dari sekadar mendengarkan doa kita, Bapa di surga tahu cara terbaik untuk menjawabnya. Pernah suatu kali gue janjian untuk ketemu via LINE dengan pembimbing rohani gue yang ada di luar negeri. Pergilah gue ke tempat makan dengan fasilitas wi-fi. Mendadak gue sadar kalo baterai tablet gue tinggal 3%. Gue gak tau harus gimana, tapi gue yakin Bapa di surga tahu gimana mengatasi situasi itu. Jadi, gue berdoa di situ sambil megang tablet gue, "Tuhan, tolonglah supaya dengan baterai 3% ini aku masih bisa ngobrol dengan kak Tesa." Betapa terkejutnya gue ketika beberapa menit kemudian seorang teman gue datang ke tempat makan itu dengan membawa tablet yang baterainya masih penuh, dan dia gak keberatan meminjamkannya untuk gue pakai selama dia di situ! Senang banget akhirnya bisa ngobrol puas dengan pembimbing rohani gue. Duh, tadinya gue kira solusi masalah gue berfokus pada tablet gue, tapi ternyata, Tuhan yang tahu betul kebutuhan gue, punya ide yang lebih bagus.

Well, adakalanya Tuhan tidak menjawab doa kita seperti yang kita mau. Tapi, satu hal yang bisa kita yakini adalah, Dia tahu apa yang terbaik buat kita. Jadi, jangan ragu berbicara kepada Tuhan tentang hal-hal yang kecil. Tentang baju yang akan kita pakai misalnya. Kita bisa minta Tuhan kasih hikmat agar bisa memilih pakaian yang pantas. Atau tentang kado yang akan kita berikan untuk seseorang. Kita bisa minta Tuhan arahkan kita untuk memberikan kado yang tepat, sesuai dengan kebutuhan orang itu. Dengan membiasakan diri membawa hal-hal yang kelihatan remeh-temeh ini dalam doa, sebenarnya kita sedang melatih diri untuk hidup bergantung penuh pada Tuhan. Kita tidak mengandalkan diri sendiri, tetapi melibatkan Tuhan dalam segala aspek hidup kita.

Maukah Kamu Menjadi Sahabatku?

Posted: 05 Jun 2014 08:25 PM PDT

Oleh: Juwita Sitorus

jadi-sahabat

Diabaikan itu menyakitkan. Apalagi jika kamu mengalaminya baik di rumah maupun di luar rumah sekaligus. Inilah yang aku rasakan sejak SD hingga Universitas. Entah mengapa, aku merasa orang selalu menertawakan aku dan tidak ingin berteman denganku.

Masih jelas di ingatanku ketika aku memohon pada seorang teman agar mau duduk sebangku denganku. Waktu itu aku baru masuk SMA dan tidak punya teman satu pun. Aku merasa seperti seorang yang memelas ingin dikasihi di hadapannya, tapi aku tak peduli. Yang penting aku punya teman sebangku. Namun, ternyata kejadian itu berbuntut tidak enak. Teman-teman yang satu genk dengannya kemudian menertawakan aku. Penampilanku dianggap mereka sangat culun dan kumuh. Aku kehilangan kata-kata. Hanya bisa pergi ke toilet untuk menangis. Rasanya aku tak ingin sekolah lagi, karena tidak tahan harus menghadapi mereka setiap hari.

Sampai tiga tahun lamanya aku menyimpan akar pahit. Aku benci kepada mereka yang menertawakanku. Apalagi, aku tahu bahwa mereka semua adalah sesama orang Kristen. Bukankah seharusnya orang Kristen itu penuh kasih? Mengapa aku malah diasingkan oleh mereka? Aku sangat kecewa. Aku merasa Tuhan juga tidak berpihak padaku. Permintaanku untuk pindah sekolah tidak diindahkan oleh orangtuaku. Mengurus pindah sekolah itu repot, alasan mereka. Sabar sajalah, kata mamaku, tanpa peduli betapa perasaanku hancur lebur di sekolah itu.

Hari-hariku di sekolah itu ibarat hidup di dunia gelap tanpa cahaya. Istirahat sendirian, makan di kantin sendirian, semuanya sendirian. Memang seiring berjalannya waktu, aku merasa ada juga orang-orang yang mulai mau menerimaku. Sayang, itu biasanya karena mereka membutuhkan sesuatu dariku. Kalau tidak, ya aku tetap saja tidak dianggap. Pernah suatu kali seseorang bertanya, "Apa kamu tidak punya teman atau sahabat di sini?" Pertanyaan itu seperti mencekikku. Dadaku terasa sesak. "Apakah suatu saat nanti aku akan memiliki sahabat? Adakah orang yang mau mendengarkan isi hatiku? Atau, apakah memang aku harus menjalani hidup ini seorang diri saja?" Besar harapanku, keadaan akan berubah ketika aku menginjak bangku kuliah. Aku sering sekali berdoa untuk hal itu. Namun, doaku seolah tidak dijawab.

Hingga akhirnya, aku memiliki seorang kakak rohani. Ia menjadi sahabat yang luar biasa. Ia menolongku untuk melihat kehidupan dari sudut pandang yang baru. Aku jadi menyadari bahwa selama ini aku telah bersandar pada pengertianku sendiri. Aku begitu sibuk meminta Tuhan mengubah situasi sesuai dengan apa yang aku inginkan, sehingga aku gagal melihat apa yang ingin Tuhan ajarkan padaku melalui berbagai situasi itu. Aku begitu sibuk mengeluhkan orang-orang yang mengabaikanku, sehingga aku tidak menyadari betapa Tuhan sendiri sesungguhnya tidak pernah mengabaikan, apalagi meninggalkan aku.

Perlahan namun pasti, pengenalanku akan Tuhan berubah. Kalau dulu aku pikir Tuhan tidak pernah peduli dan berpihak padaku, kini aku belajar betapa Dia adalah Bapa yang memiliki rencana terbaik bagi anak-anak-Nya, betapa Dia adalah Sahabat yang sejati. Seiring dengan itu, hidupku pun diubahkan. Pikiranku yang tadinya penuh ketakutan dan keraguan, kini diliputi keberanian dan pengharapan. Hatiku yang tadinya penuh akar pahit, kini diliputi pengampunan, bahkan kerinduan untuk mendoakan mereka yang pernah menyakiti aku.

Sungguh aku bersyukur untuk karya Tuhan yang ajaib dalam hidupku. Memiliki sahabat memang bisa membuat kita merasa berarti. Tetapi, menjadi sahabat bagi orang lain ternyata jauh lebih indah dan berarti. Yuk lihat sekeliling kita. Banyak orang yang berseru di balik kesepian hati mereka, “Maukah kamu menjadi sahabatku?” Jadilah sahabat mereka. Ambillah waktu untuk memperhatikan dan mendoakan mereka. Perkenalkan mereka kepada Kristus, Sang Sahabat sejati yang dapat mengubahkan hidup mereka. Aku yakin, hidupmu juga akan diubahkan dalam prosesnya :)

0 komentar:

Posting Komentar