Santapan Rohani Hari Ini: Sebuah Nama Yang Sesuai |
Posted: 23 May 2014 10:00 AM PDT Sabtu, 24 Mei 2014 Baca: Matius 1:18-251:18 Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri. 1:19 Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam. 1:20 Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. 1:21 Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka.” 1:22 Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi: 1:23 “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” –yang berarti: Allah menyertai kita. 1:24 Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya, 1:25 tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan Dia Yesus. Engkau akan menamakan Dia Yesus. —Matius 1:21 Nama negara Indonesia tersusun dari dua kata dalam bahasa Yunani yang ketika digabungkan berarti "kepulauan". Nama itu sangat sesuai karena Indonesia merupakan suatu negara yang terdiri lebih dari 17.500 pulau yang terbentang dalam wilayah seluas 1,2 juta kilometer persegi. Indonesia—nama yang sesuai untuk suatu negara kepulauan. Dalam Alkitab, kita menjumpai bahwa orang sering dianugerahi nama—ada yang dinamai pada saat ia dilahirkan, ada yang dinamai pada kemudian hari—yang menjadi pernyataan tentang diri mereka atau karakter mereka. Barnabas, yang namanya berarti "anak penghiburan", merupakan pribadi yang senang memberikan dorongan semangat dan penghiburan kepada orang-orang yang dijumpainya. Yakub, yang namanya berarti "penipu", berulang kali memanipulasi orang dan situasi yang ada demi kepentingan dirinya sendiri. Namun tidak seorang pun yang mempunyai nama yang begitu sesuai seperti nama Yesus. Ketika malaikat Tuhan berbicara kepada Yusuf tentang Anak yang akan segera dilahirkan oleh Maria, malaikat itu memerintahkan kepada Yusuf, "Engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka" (Mat. 1:21). Yesus berarti "Tuhan menyelamatkan" dan nama itu menjelaskan tentang siapakah diri Yesus dan maksud dari kedatangan-Nya ke dunia. Dia juga disebut Imanuel, yang berarti "Allah menyertai kita" (1:23). Nama Yesus mengungkapkan pengharapan kita yang abadi! —WEC Manisnya nama Penebus Nama Yesus itu pusat dari iman dan pengharapan kita. |
Posted: 22 May 2014 09:50 PM PDT Oleh: Listiyani Chita Ellary Hampir dua tahun aku menjalin hubungan dengan pacarku, sebut saja namanya Gentong. Susah senang kita lewatin berdua, tak pernah terlintas pikiran untuk berpisah. Siapa saja yang melihat pasti bisa merasakan indahnya hubungan kami berdua. Memang secara pribadi aku merasa hubungan kami asyik, kadang konyol tapi seru. Aku merasa tidak saja punya pacar, tapi juga seorang sahabat dan guru sekaligus. Hingga suatu waktu, kami berdua harus menghadapi masalah yang cukup berat, yang melibatkan beberapa orang terdekat kami berdua. Beberapa minggu lamanya kami diliputi dengan suasana hati yang tidak tentu. Kadang kami bisa sabar, tapi kadang kami pun sama-sama dipenuhi emosi yang meledak-ledak, hingga sempat saling melukai perasaan masing-masing. Dari kejadian ini, layaknya anak muda yang lain, aku jadi sering galau, nangis-nangis nggak jelas di kamar hanya karena dihantui pikiran, "Kok si dia berubah? Dia sudah nggak sayang lagi kayak dulu ya? Jangan-jangan dia sudah punya yang baru.” Dan muncullah banyak “jangan-jangan” yang lain. Aku mulai merasa relasi kami tidak lagi sehat untuk diteruskan. Tapi, aku masih belum rela kehilangan pacar. Aku memaksa agar hubungan kami tetap berlanjut. Sampai suatu pagi ketika bersaat teduh, aku tersentak membaca bahan renungan yang berbicara tentang “merelakan apa yang seharusnya bukan kehendak Tuhan”. Bacaan hari itu menegurku dengan keras. Apakah aku benar-benar peduli dengan yang namanya kehendak Tuhan? Harus kuakui, selama menjalin relasi dengan pacarku, aku hampir tidak pernah bertanya apa yang Tuhan mau aku lakukan, apakah Tuhan berkenan hubungan ini berlanjut atau tidak. Sungguh sebuah proses yang berat bagiku. Aku sungguh tidak ingin hubungan kami berakhir. Namun, Tuhan mulai membukakan pikiranku. Aku jadi sadar bagaimana selama ini aku sering menyakiti hati si Gentong, membuatnya selalu terpaksa mengalah dengan sikapku yang keras kepala. Setelah bergumul selama kurang lebih sebulan dan tidak melihat titik terang dalam hubungan kami, akhirnya aku merelakan hubungan kami berakhir. Sebagaimana semua orang yang pernah merasakan namanya putus dengan pacar, aku juga awalnya hancur hati, rasanya tidak punya mood lagi buat beraktivitas. Tapi seiring berjalannya waktu, semua kegalauan ini kemudian membuat aku bersyukur. Aku jadi belajar bahwa kasih dari manusia itu tidak abadi, mengecewakan, dan kerap melukai hati. Sungguh kontras dengan kasih Kristus yang kekal dan sempurna. Kesadaran ini membawaku makin mencintai Tuhan. Kegalauan ini juga dipakai Tuhan untuk membuka mataku terhadap orang-orang yang mengasihi aku. Mereka dengan setia menguatkan dan menghiburku pada saat aku terpuruk. Aku jadi tersadar bahwa selama ini aku begitu fokus mengasihi satu orang saja Tuhan memperluas duniaku yang tadinya hanya berfokus mengasihi satu orang saja, sehingga aku kemudian bisa mengasihi lebih banyak orang. Tuhan juga mengajarku melalui kegalauan ini untuk bersandar sepenuhnya kepada Kristus, bukan bertahan dengan pemikiran dan perasaan sendiri. Aku diingatkan untuk selalu mencari kehendak Tuhan dalam segala hal. Untuk itu tentunya aku perlu memiliki relasi yang lebih intim dengan Tuhan. Bagaimana mungkin kita bisa mengerti kehendak Tuhan jika kita tidak punya relasi yang dekat dengan-Nya? Sebelum aku tertindas, aku menyimpang, |
Ulasan Buku: The Christian Atheist Posted: 22 May 2014 09:45 PM PDT Oleh: Juni Liem Judul: The Christian Atheist, Percaya kepada Tuhan tetapi Hidup Seakan Dia Tidak Ada. “Aku menyebut diriku Kristen, tapi aku hidup seperti seorang Ateis.” Sebuah kalimat yang sangat menarik perhatianku dan membuat aku akhirnya memutuskan untuk membeli buku karya Craig Groeschel ini. Aku sendiri bertobat ketika ketika masih menggunakan seragam putih-biru. Sejak saat itu, aku menyebut diriku seorang Kristen. Aku mulai ke gereja, ikut berbagai aktivitas pelayanan dan pembinaan rohani. Aku mulai berdoa dan membaca Alkitab. Well, tentu saja. Aku menyebut diri sebagai seorang Kristen, bukan? Lanjutan kalimat yang ditulis Groeschel “…tapi, aku hidup seperti seorang Ateis” membuat aku terdiam. Buku ini bukanlah buku yang membahas tentang paham ateis dari sudut pandang kekristenan. Sang penulis sedang mengajak mereka yang mengaku dirinya Kristen untuk memeriksa kehidupan mereka, kalau-kalau mereka ternyata hidup tak ubahnya seperti seorang ateis. Sebab itulah, buku ini diberi sub judul: "Percaya kepada Tuhan, tetapi Hidup Seakan Dia Tidak Ada.” Aku sangat suka dengan cara Craig menulis. Selain sederhana (terjemahan Indonesia-nya juga cukup baik lho…), Craig tidak malu-malu menceritakan kehidupannya, pergumulannya, serta kesalahan-kesalahan yang pernah ia perbuat. Kisah-kisah pribadi ini membuat apa yang ia jelaskan menjadi lebih kuat, bukan lagi sebatas teori. Craig mengawali judul dari setiap bab (totalnya ada 12 bab) yang ada dalam bukunya dengan kalimat “Ketika Kau Percaya Kepada Tuhan Tapi….” Wah, benar-benar membuatku banyak mengintrospeksi diri. Ya, aku percaya kepada Tuhan, tapi apakah kehidupan rohaniku menunjukkan bahwa aku benar-benar percaya Tuhan? Aku percaya Tuhan itu ada, tapi seringkali aku ragu bahwa Dia adalah Tuhan yang adil. Aku percaya Tuhan itu mendengar doa, tapi adakalanya aku tidak percaya dengan kuasa doa. Aku percaya kepada Tuhan, tapi….ahh….masih banyak "tapi-tapi" yang lain. Pada bagian penutup, Craig menulis: Pandangan Kristen Ateisku yang egois adalah Tuhan ada untukku, bukannya aku ada untuk-Nya. Pernyataan yang membuat segenap diriku serasa "diobok-obok". Buku ini berhasil "memaksa" aku untuk merenungkan kembali apakah aku sudah hidup sesuai identitasku sebagai seorang Kristen. Kalau kamu adalah orang yang rindu menjadi seorang Kristen yang otentik, dan siap "diobok-obok" hidupnya demi perubahan ke arah tersebut, pastikan kamu tidak melewatkan bacaan yang satu ini. Selamat membaca dan selamat merenung Mari kita sama-sama berjuang untuk menjadi orang Kristen yang sesungguhnya. Orang Kristen yang kehidupannya terbuka bagi orang-orang di sekelilingnya, sehingga mereka dapat secara nyata melihat Kristus yang bertakhta dalam hidup kita. |
You are subscribed to email updates from WarungSateKaMu.org To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
0 komentar:
Posting Komentar