Santapan Rohani Hari Ini: Burung-Burung Rakus |
Posted: 20 Jun 2013 10:00 AM PDT Jumat, 21 Juni 2013 Baca: 2 Korintus 9:6-15 Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu . . . berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan. —2 Korintus 9:8 Setiap tahun saat saya memasang tempat makan bagi burung, burung-burung kolibri kecil langsung sibuk memperebutkan posisi mereka. Meski ada empat celah untuk mendapatkan makanan, setiap burung berebut untuk menempati celah yang digunakan oleh burung di sebelahnya. Sumber makanan mereka sama, yaitu kolam sirup di bagian dasar tempat makan itu. Karena saya tahu bahwa setiap celah itu mengeluarkan makanan yang sama, saya hanya bisa menggelengkan kepala melihat kerakusan mereka. Namun kemudian saya bertanya-tanya, Mengapa jauh lebih mudah melihat kerakusan burung-burung itu daripada melihat kerakusan saya sendiri? Saat menerima berkat Allah, saya sering kali menginginkan apa yang diterima oleh orang lain, meskipun saya mengetahui bahwa semua hal yang baik datang dari sumber yang sama, yaitu Allah— dan bahwa persediaan-Nya tidak akan pernah habis. Karena Allah dapat menyediakan hidangan bagi kita bahkan di hadapan musuh-musuh kita (Mzm. 23:5), mengapa kita khawatir kalau-kalau orang lain mendapatkan apa yang kita inginkan dalam hidup ini? Allah sanggup untuk membuat kita “berkecukupan di dalam segala sesuatu” sehingga kita akan “berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan” (2Kor. 9:8). Saat kita menyadari pentingnya panggilan kita sebagai pengurus dari kasih karunia Allah (1Ptr. 4:10), kita akan berhenti memperebutkan kedudukan orang lain dan bersyukur untuk tempat yang telah diberikan Allah kepada kita untuk melayani sesama demi nama-Nya. —JAL Terima kasih, Tuhan, untuk hak istimewa yang kami miliki Kebencian dialami dari memandang orang lain, kepuasan dialami dari memandang kepada Allah. |
Posted: 20 Jun 2013 01:00 AM PDT Cerita Oleh Hady Kristian
Klik di sini untuk baca bagian pertama cerpen ini. Dua tahun lalu, ayah Vino bunuh diri karena depresi. Perusahaan yang dirintisnya, bangkrut total. Sedangkan ibunya meninggal saat melahirkan Vino. Ia tidak punya saudara kandung. Kolega ayahnya angkat tangan saat mereka meminta bantuan. Vino menganggap semua orang seperti lintah darat yang berpura-pura baik karena melihat harta ayahnya. Begitu mereka tidak memiliki apa-apa, satu per satu memasung jarak dan tidak pernah lagi menampakkan diri. Kebenciannya semakin menguat, membuat Vino tidak percaya pada siapa pun. Ia hidup untuk dirinya sendiri. Hari demi hari berlalu dan hatinya semakin keras. Moralnya pun semakin merosot. Hidup di jalanan membukakan sejuta paradigma negatif bagi kehidupannya. Vino pelan-pelan mulai memahami, bahwa kejujuran mendatangkan kesulitan. Karena itulah ia memilih jalan yang sekarang ditempuhnya. Tuhan? Sudah lama ia melupakan Tuhan. Vino yakin bahwa kalau pun Tuhan itu nyata, hidupnya tetap tidak akan berubah. Ucapan yang dahulu dikatakan oleh guru sekolah minggunya mengenai buah-buah iman, pengharapan dan kasih tidak pernah dirasakannya. Pengalamannya adalah bukti. Hanya melalui harta kekayaan seorang manusia itu dipandang. *** Keesokan paginya, ia mengutuk keberadaannya di dunia, merendahkan diri sendiri dengan terus-menerus mengucapkan kata-kata kotor. Tetapi bukan ketenangan yang dirasakannya, melainkan amarah. Vino lalu menendang barang-barang di hadapannya sebagai pelampiasan. Ia menangis, meraung-raung meratapi betapa malang nasibnya. Ada gejolak membara di lubuk hati, namun Vino tidak bisa memahaminya. Pikiran Vino kalut. Semalaman ia tidak bisa tertidur pulas. Matanya terus saja tertuju pada tumpukan Alkitab didekatnya. Terakhir kali ia membaca Alkitab adalah tujuh belas tahun lalu saat di sekolah minggu. Entahlah, mungkin ada kerinduan terselip di dasar hatinya. Semalaman ia marah dan berniat untuk membuang Alkitab tersebut, tapi tidak dilakukannya. "Vin, kamu kenapa?" Bang Roni, Bos Vino heran melihat tingkah laku anak buahnya yang terlihat depresi. Vino membisu. "Cari uang sana! Kamu udah nggak butuh makan lagi, HAH? Saya masih toleransi kamu tidak setor uang kemarin, tapi kalau hari ini hasilnya tetap sama, saya telantarkan kamu di jalanan biar mati," ancam Bang Roni tanpa belas kasih. "I-iya, Bang," ujar Vino. Ia menghela nafas panjang-panjang. Ia mesti sabar menghadapi Bang Roni. Semua orang takut karena prestasinya yang sudah berkali-kali wisata keluar masuk penjara. Siapa pun yang berani melawan omongan Bang Roni, berarti siap untuk mati. Semua orang sudah tahu karakter brutal Bang Roni. "Terus kenapa masih bengong di situ? Cepat pergi sana!" "Siap Bang. Tapi ada satu hal yang mau saya tanyakan sama Abang." "Apa?" "Pernahkah Abang berpikir untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat dan diterima? Maksud saya, adakah keinginan Abang agar diterima secara utuh lagi di masyarakat? Berbaur seperti orang pada umumnya." Kesenyapan menjeda sesaat. Bang Roni menatap mata Vino tajam-tajam. "HAHAHA… orang seperti kita diterima masyarakat? Omong kosong! Lupakan saja, lihat pandangan mereka pada kita, adakah tersirat kelembutan di situ? Yang ada hanya pandangan menghakimi. Kita sudah terlanjur masuk ke pekerjaan begini, jangan harap bisa diterima utuh kembali oleh masyarakat," jawab Bang Roni. "Mereka menganggap kita sebagai sampah masyarakat. SIAPA YANG MAU MENERIMA SAMPAH? Dengarkan ini baik-baik, kita tidak pernah diinginkan di manapun. Terima saja nasib dan jalani hidup," lanjutnya. Dalam hati, Vino membenarkan perkataan Bang Roni. Namun masih ada keraguan di hatinya. Pernyataan itu sangat realistis, tapi ada ganjalan di sudut hatinya yang melarangnya menelan mentah-mentah ucapan Bang Roni. Meski berat, Vino lantas mengangguk dan undur diri, menyisakan kepingan tanda tanya di benaknya. Bersambung . . . |
You are subscribed to email updates from WarungSateKaMu.org To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
0 komentar:
Posting Komentar