Santapan Rohani Hari Ini: Ucapan Yang Terkendali |
Posted: 10 Mar 2014 10:00 AM PDT Selasa, 11 Maret 2014
Baca: Yakobus 3:1-123:1 Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat. 3:2 Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya. 3:3 Kita mengenakan kekang pada mulut kuda, sehingga ia menuruti kehendak kita, dengan jalan demikian kita dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya. 3:4 Dan lihat saja kapal-kapal, walaupun amat besar dan digerakkan oleh angin keras, namun dapat dikendalikan oleh kemudi yang amat kecil menurut kehendak jurumudi. 3:5 Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar. 3:6 Lidahpun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka. 3:7 Semua jenis binatang liar, burung-burung, serta binatang-binatang menjalar dan binatang-binatang laut dapat dijinakkan dan telah dijinakkan oleh sifat manusia, 3:8 tetapi tidak seorangpun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan. 3:9 Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, 3:10 dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi. 3:11 Adakah sumber memancarkan air tawar dan air pahit dari mata air yang sama? 3:12 Saudara-saudaraku, adakah pohon ara dapat menghasilkan buah zaitun dan adakah pokok anggur dapat menghasilkan buah ara? Demikian juga mata air asin tidak dapat mengeluarkan air tawar. Buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai. —Yakobus 3:18 Mantan Presiden AS Harry Truman mempunyai aturan: Setiap surat yang ditulisnya dengan perasaan marah harus ditaruh di atas mejanya selama 24 jam sebelum dikirim. Jika setelah masa "menenangkan diri" itu usai dan ia masih memendam rasa marah tersebut, ia akan mengirimkan surat itu. Ternyata pada akhir hidupnya, sebuah laci besar pada meja Truman penuh berisi surat yang tak terkirim. Dalam zaman komunikasi serba cepat dewasa ini, ada banyak peristiwa memalukan yang sebenarnya bisa kita hindari seandainya kita dapat mengendalikan diri selama 24 menit saja! Dalam suratnya, Yakobus berbicara tentang kerusakan yang dapat disebabkan oleh suatu hal yang terus-menerus menjadi pergumulan di sepanjang sejarah umat manusia, yaitu lidah yang tidak terkendali. Ia menulis, "Tidak seorangpun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan" (3:8). Ketika kita bergosip atau berbicara dengan penuh kemarahan, kita sedang berjalan di luar kehendak Allah. Kita perlu lebih menahan diri dalam perkataan yang kita ucapkan, ketik, atau tuliskan, sembari mengucap syukur dalam hati untuk penguasaan diri yang Allah mampukan. Sayangnya, kita lebih sering menunjukkan kebobrokan kita sebagai manusia kepada orang-orang yang mendengar ucapan kita. Jika ingin memperlihatkan sikap diri yang telah diubahkan Kristus, mungkin yang perlu kita lakukan hanyalah mengendalikan lidah dan ucapan kita. Orang lain pasti akan memperhatikan ketika kita memuliakan Allah lewat perkataan yang kita ucapkan—atau yang tidak kita ucapkan. —RKK Tolonglah aku, ya Tuhan, supaya perkataanku tidak kugunakan untuk Siapa memelihara mulut dan lidahnya, memelihara diri dari pada kesukaran. —Amsal 21:23 |
Posted: 10 Mar 2014 01:00 AM PDT Oleh Lau Jue Hua, Singapore Jika kamu sedang ditindas atau dibully orang, aku sedikit banyak bisa memahami penderitaanmu. Aku juga ingin meminta maaf atas nama mereka yang telah menindasmu. Aku sendiri pernah menjadi pelaku sekaligus korban bully. Tumbuh sebagai seorang anak yang aneh—gendut, berkacamata, dan tidak pernah merasa diterima di mana-mana—aku menjadi sasaran empuk bagi para bully. Tanpa kusadari, pengalaman dibully membuatku kemudian melampiaskan emosi negatif itu kepada orang lain. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengumbar pengalaman pahitku tetapi untuk membagikan pengharapan bagi kamu yang ada di tengah situasi serupa. Karena pernah menjadi pelaku sekaligus korban bully, aku bisa memahami masalah ini dari dua sisi dan dapat membagikan pengalamanku dalam mengatasinya. Sebagai tambahan, aku juga akan membagikan pandanganku sebagai seorang pengikut Kristus, dan menyarankan beberapa cara lain (yang dulu tidak terpikir olehku) untuk keluar dari masalah ini. Salah satu caraku meresponi tindakan bully yang kualami adalah dengan menyerang orang lain secara fisik. Malu sekali rasanya mengingat tindakanku itu. Begitu melihat orang yang pernah kusakiti itu sebelas tahun kemudian, tak ayal aku berbalik dan segera lari menghindarinya. Meski lama tidak bertemu, aku tak bisa melupakan sosoknya, karena ia memiliki tangan yang cacat dan kaki yang timpang. Memalukan memang. Aku telah memukul seorang penderita cerebral palsy dan meninggalkannya seorang diri, menangis di tengah derai hujan. Jika kamu adalah korban bullying dan tindakanku membuatmu muak—dengan tidak berperasaan aku telah menindas yang lemah—kumohon kamu tidak langsung menutup halaman web ini. Teruslah membaca kisahku ini sedikit lagi. Tanpa ingin membenarkan diri, aku ingin menjelaskan situasi di balik tindakanku. Well, aku pun telah dibully juga. Aku dipukul dan dikucilkan. Aku berusaha mengatasi rasa sakit hatiku dengan melampiaskannya kepada orang lain. Sebuah mekanisme pertahanan diri. Kecenderungan yang kadang-kadang masih kulakukan hingga sekarang. Dengan menertawakan dan menghina kelemahan orang lain, aku merasa akhirnya bisa diterima sebagai bagian dari sebuah kelompok. Dengan mempermainkan dan merendahkan seorang anak yang cacat, aku bisa—paling tidak untuk sementara waktu—mengabaikan masalah-masalahku (kelebihan berat badan, penampilan yang buruk, dsb), dan merasa bisa mengendalikan orang lain. Kupikir setelah lulus aku bisa lepas dari masalah bully ini, tetapi ternyata saat menginjak usia 15-16 tahun, aku harus sekelas lagi dengan orang-orang yang dulu menyakitiku. Cara bully mereka sedikit berbeda sekarang, tidak lagi banyak menyerang secara fisik, tetapi secara mental. Sangat menyakitkan ketika mereka mengucilkan dan mengabaikan keberadaanku. Aku berupaya diterima dalam kelompok mereka dengan cara menunjukkan bahwa aku juga bisa mempermainkan orang lain. Upayaku membuat mereka lebih bersahabat, tetapi tidak menyelesaikan masalah. Karena tidak punya banyak teman, aku akhirnya menyibukkan diri dengan bermain game. Ketika asyik bermain, untuk sesaat aku bisa melupakan kebencianku terhadap suasana di sekolah. Sungguh keputusan yang bodoh. Jika waktu bisa diputar kembali, betapa aku ingin menjalani masa-masa itu dengan cara yang berbeda. Well, aku harap kamu sekarang bisa memahami, mengapa aku membully orang. Sebagaimana yang kujanjikan di awal tulisan, berikut ini aku coba mendaftarkan beberapa hal yang dapat kamu lakukan untuk mengatasi bullying. 1. Membaca dan bermain. Saat ini teknologi komputer dapat menolong kita untuk mengisi waktu dan menjalin persahabatan secara online. Tentu saja, kita harus bijak dalam menggunakannya. Aku tidak menyarankan kamu menghabiskan sepanjang hari hanya untuk bermain komputer. Karena sifatnya yang menarik dan interaktif, komputer lebih berpotensi membuat kita kecanduan dibandingkan buku. 2. Berhentilah berupaya untuk diterima. 3. Terapkan kelemahlembutan. David Roper, seorang pendeta, suatu kali pernah menulis, “Kelemahlembutan bukanlah sebuah kelemahan, melainkan kekuatan dalam pengendalian diri. Roh yang lemah lembut mengatasi hati yang keras dan kehendak yang sulit dengan penuh kesabaran.” Kelemahlembutan adalah salah satu karakter Kristus. Dengan bala tentara malaikat-Nya, Kristus bisa melakukan apa pun yang Dia mau. Tetapi, bukannya menghajar para orang Farisi yang telah menyiksa dan mengolok-olok-Nya, Kristus memilih untuk tetap bersikap lemah lembut, mengendalikan kekuatan-Nya. Kelemahlembutan bukanlah sebuah kelemahan. Kita harus bisa membedakan kedua hal ini. 4. Ambillah sikap yang tegas bagi dirimu sendiri dan bagi kebenaran. 5. Berbicaralah dengan orang yang memegang otoritas. 6. Kasihilah mereka yang menyakitimu dan berdoalah bagi mereka. Yesus berkata, “Kasihilah musuhmu, berbuat baiklah kepada orang yang membenci kamu” (Lukas 6:27). Bersikap lemah lembut dan mengendalikan kekuatan kita ketika direndahkan orang lain sudah cukup sulit untuk dilakukan. Bagaimana bisa kita masih diminta untuk mengasihi musuh kita? Mustahil rasanya! Namun, setelah membaca kisahku tadi, aku berharap kamu bisa memahami bahwa para bully sebenarnya tidak seperti penampilan luar mereka. Mereka bukanlah orang-orang tanpa perasaan—atau bahkan sadis—sebagaimana yang kita pikirkan. Mereka adalah orang-orang yang berusaha mengatasi rasa sakit hati dengan cara yang keliru. Dan, tidak seperti aku atau kamu yang memiliki Kristus untuk membimbing hidup kita, mereka mungkin belum mengenal Kristus. Atau, jika mereka sudah mengenal-Nya, mereka mungkin tidak memiliki hubungan pribadi yang dekat dengan-Nya. Kasihilah mereka, karena seperti kamu, mereka juga telah banyak terluka. Kasihilah musuhmu dengan berdoa bagi mereka (Matius 5:44), dan lihatlah bagaimana Tuhan berkarya! Sumber: The Memoirs of a Bullied Child *bully= pelaku bullying, orang dengan sengaja menyerang mereka yang lebih lemah, baik melalui tindakan fisik, perkataan, maupun sikap. |
You are subscribed to email updates from WarungSateKaMu.org To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar